Minggu, 13 Januari 2008

USAHA BERBENAH DARI KETERPURUKAN

Oleh: Rois Setiawan*
Bencana gempa bumi bersekala 5,9 Sekala Richter di kawasa DIY dan Jawa Tengah, Sabtu 27/5/2006 lalu mengakibatkan kerugian yang sangat besar, kerugian fisik maupun non fisik. Tercatat lebih dari 5000 nyawa yang menjadi korban pada bencana itu, dan juga tercatat 204.538 rumah yang rusak (Kompas, 5/6/06). Selain itu beban psikologis yang dirasakan, juga menambah komplitnya cobaan yang dialami para korban yang selamat. Sehingga bagi sebagian orang yang tidak kuat menanggung beban terpaksa nekat bunuh diri untuk mengahiri beban yang diderita, seperti yang dilakukan Pak Mardi warga Gunung Manuk, Salam, Patuk, Gunung Kidul DIY yang mengahiri hidupnya dengan menceburkan diri kesumur.
Relawan dari berbagai daerah dan dari berbagai Negara tetangga berdatangan turut memberikan pertolongan, semua terlihat saling bantu membantu dalam melaksanakan pertolongan, tidak pandang golongan, etnis, maupun agama, semua campur dalam kesedihan bersama. Walaupun tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam membangun kembali, tapi paling tidak ada sedikit secercah harapan untuk meringankan saudara yang terkena bencana.
Bantuan mulai disalurkan mulai pakaian bekas, sembako, tenda pengungsian, alat dan tim medis, sampai anjing pelacak untuk mencari korban, dan juga masih banyak lagi macam-macam bantuan yang disalurkan. Tapi tidak sedikit pula yang masih kekurangan dan masih membutuhkan bantuan dari para relawan. Kekurangan dalam mendapatkan makanan, layanan kesehatan, fasilitas untuk mengungsi, dan fasilitas dalam membangun kembali rumah yang telah roboh. Situasi semacam itu masih banyak sekali ditemui, bahkan ada yang nekat mencuri bantuan karena lamanya menunggu.
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah munculnya krisis manageman dalam menangani pembagian bantuan, dan pendataan korban. Semua berjalan sendiri-sendiri, tidak ada koordinasi dan komunikasi yang harmonis.
Masih Kedodoran
Adanya kasus pemalakan bantuan di beberapa wilayah bencana, menggambarkan bagaimana kondisi penanganan bantuan yang tidak profesional dari pemerintah, dan bukti kurang adanya kesadaran mempelajari bencana-bencana yang pernah ada.
Dulu ketika ada bencana Sunami yang melanda Daerah Istimewa Aceh dan sekitarnya, pemerintah juga terlihat tidak cepat tanggap menolong. Selalu saja penanganan dan penyaluran bantuan dari Negara tetangga lebih cepat tanggap.
Banyak sekali sector yang menyebabkan mengapa pemerintah masih selalu kedodoran dalam penangan bencana, ada beberapa hal yang kurang dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, adanya birokrasi yang selalu berbelit dalam menangani korban bencana. Terjadinya kasus bunuh diri dan kasus kurang meratanya bantuan, kususnya penyaluran bantuan di daerah yang terpencil menandakan berbelitnya birokrasi sehingga korban bencana merasa kesulitan dan makin terbebani.
Sampai-sampai mereka terlupakan dan menjadi putus asa. Tidak ada harapan dan putus asa merupakan dua factor utama yang menyebabkan adanya kasus bunuh diri. Putus asa terhadap masa depan merupakan factor yang menghantui, seolah mereka ditinggal sendiri, tanpa ada yang membantu. Pemerintah yang dianggap sebagai pelindung dan penolong warganya ternyata tidak bertindak cepat untuk menolong warga negaranya.
Kedua, masih banyaknya kasus penggelapan bantuan, bantuan yang begitu banyak mengakibatkan orang tergiur untuk sedikit menikmati harta yang seharusnya disalurkan pada korban.
Banyaknya tim pengawas tidak menjamin tersalurkannya bantuan secara merata malah menambah berbelitnya penanganan. Paling tidak pemerintah harus mampu memegang kendali dalam penyaluran bantuan, dan harus benar-benar sampai pada orang yang layak untuk diberi bantuan. Penggelapan bantuan yang berikutnya adalah yang berasal dari orang yang mengaku-aku korban. Banyak sekali orang yang menggunakan kesempatan dalam penderitaan, dengan menggunakan kata “untuk korban bencana” mereka dapat mengeruk keuntungan yang semestinya tidak menjadi haknya.
Ketiga simpang-siurnya pendataan korban bencana, sehingga mengakibatkan adanya kawasan yang gemuk karena mendapat bantuan banyak, dan ada juga wilayah yang kurus karena sedikit mendapatkan bantuan. Hal ini yang harus kita antisipasi.
Optimis
Pemberian bantuan berupa sembako dan pembentukan tempat pengungsian bukanlah tujuan akhir, pemberian bantuan yang bersifat instant itu hanyalah instrumen bagi korban untuk memperjuangkan kesejahteraannya.
Jadi bagaimana kita secepatnya mempersiapkan munculnya gairah baru bagi para korban sehingga menjadi orang yang optimis menatap masa depan. Kita semua harus biasa mensiasati dan mendorong pulihnya kondisi fisik dan kejiwaan korban. Mulai dari pendampingan dan perhatian, sampai pada pulihnya kembali kekuatan untuk bekerja sendiri.
Mempersiapkan mental korban menjadi kuat adalah upaya memperkuat agar lebih mampu dan berani menatap masa depan, memulihkan kebutuhannya semaksimal mungkin sehingga dapat melewati masa kritis mereka.
Dalam menghadapi masalah ini, dalam jangka pendek Pemerintah perlu mengambil langkah nyata dan tegas untuk merehabilitasi korban bencana secara efvektif, dan tidak hanya menghambur-hamburkan tenaga dan biaya. Dalam jangka panjang perlu melakukan evaluasi kembali tentang berbagai kebijakan terkait dengan penanganan dan penanggulangan bencana. Masyarakat dan pemerintah harus bias bekerja sama, kususnya komunikasi antar kedua belah pihak harus nyambung sehingga tidak ada kekeliruan dalam menangani penyaluran bantuan.
Oleh karena itu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penanganan korban bencana alam dalam waktu mendatang perlu di lakukan langkah – langkah sebagai berikut. Pertama, melakukan pendatan ulang secepatnya secara akurat. Karena akibat dari ketidak jelasan data yang masuk menjadikan keterlambatan penyaluran bantuan kepada korban..
Kedua, pemerintah harus menegaskan kembali bahwa sasaran bantuan bencana adalah mereka yang benar-benar menjadi korban, baik untuk kesehatan, kebutuhan sehari-hari maupun untuk membangun rumah mereka kembali. Dengan secara tegas dan selektif dapat ditetapkan mana warga yang jelas-jelas korban dan mana yang hanya menggunakan kesempatan bencana saja.
Ketiga, pemerintah harus menegaskan kembali bahwa penyalahgunaan bantuan bagi para korban adalah tindak pidana kriminal dengan ancaman hukuman yang berat, karena pada dasarnya penyalahgunaan bantuan bencana adalah penyalahgunaan keuangan masyarakat banyak, dan penyalah gunaan keuangan Negara. Dan kebijakan ini harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas.
Keempat, Bakornas penanggulangan bencana alam seharusnya ditetapkan sebagai lembaga pertama yang bertanggung jawab terhadap pengadaan, penyaluran dan ketepatan penyaluran bantuan pada korban. Sehingga dapat menyalurkan bantuan secara jelas. Karena selama ini mereka yang ingin menyalurkan bantuan bertindak sendiri-sendiri, sehingga mana wilayah yang sudah mendapat bantuan dan mana yang belum mendapat bantuan, tidak terdata secara jelas, karena adanya perbedaan data.
Kelima, Pemerintah seharusnya meninjau ulang sistem distribusi penanganan dan penyaluran bantuan yang telah dilakukan, termasuk tata cara penyaluran bantuan agar lebih efisien dan efektif, sehingga dapat dilihat apakah sudah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Keenam, komunikasi dan perhatian pada para korban sangat diperlukan sekali, karena selama masih belum terkomunikasikan semua masalah tidak akan biasa terselesaikan dengan baik.
Sehingga nantinya tidak akan ada lagi kegundahan dan kecemburuan antar korban bencana, dan tidak ada yang dirugikan,. Semua korban mendapat bantuan sedang yang membantu tidak merasa tertipu.

KATA MAAF BUKAN SOLUSI

Oleh: Rois Setiawan*

Saat kunjungannya di tempat pengungsian di Tanjung Muntilan Jawa Tengah hari Sabtu, 20/5/2006 lalu, putri mantan Presiden Soeharto Siti Hediyati Hariyadi menyatakan permintaan maaf pada seluruh rakyat Indonesia atas segala kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan oleh ayahnya saat memimpin bangsa Indonesia, disamping itu dia juga berterimakasih atas doa bagi kesembuhan penyakit yang diderita bapaknya (SM, Minggu 21/5/2006).
Penyakit yang selama ini mendiami tubuh Soeharto, kata Direktur Rumah Sakit Pusat Pertamina Dr. Adjie Suprajitno semakin parah, gangguan pernafasan dan ginjal masih belum membaik ditambah lagi kerusakan jaringan otak yang bersifat permanen.
Hal ini juga yang menjadikan alasan mengapa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Yang ahirnya memunculkan berbagai macam tanggapan dan perdebatan mengenai surat tersebut. Banyak yang menganggap bahwa pengeluaran surat tersebut sangat tergesa-gesa, mereka tidak mampu menangani kasus mantan orang nomor satu di Indonesia ini. Selain itu mereka juga dianggap telah menodai agenda reformasi yang termaktub dalam Tap MPR 1998. Tapi dilain pihak mengatakan adanya SKP3 itu sangat pas dengan kondisi terdakwa saat ini yang dinyatakan tidak layak untuk dipersidangkan, dan alasan lain mengatakan sudah pantas kalau kita ampuni dengan menimbang segala kebaikannya di masa lalu.
Tapi apa sepadan dengan yang kita rasakan saat ini, imbas yang sangat besar dari perbuatannya?, kita rasakan sendiri krisis berkepanjangan yang menimpa bangsa ini, baik itu yang berhubungan rusaknya tatanan politik, moral rakyat, kemiskinan, pendidikan, dan juga kasus KKN yang masih menjadi tradisi, menambah komplitnya kerusakan bangsa ini.
Sebenarnya kita tidak perlu menunggu lama-lama atas kasus ini, sejak lengsernya Soeharto 21 mei 1998 lalu, seharusnya kita bisa langsung menikmati ketegasan para penegak hukum, tapi lagi-lagi mereka seolah-olah tunduk hanya dengan secarik surat keterangan dokter, pertanyaan yang mendasar apa memang mereka begitu polos hingga meng-iyakan apa yang dikatakan dokter tanpa meninjau lebih jauh, atau memang orang yang mereka hadapi begitu kuat, dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya hingga tidak dapat disentuh hukum.
Setiap kali ada pemanggilan kasus KKN, Soeharto dapat dipastikan ada dirumah sakit dengan berbagai alasan penyakit yang menimpanya. Dan setelah beberapa saat kemudin dia nongol lagi di depan public. Hal ini yang sangat menyakitkan masyarakat, kita semua hanya dianggap dalam permainan petak umpet.
Dosa politik
Sering sekali kita terjebak dengan perasaan kita sendiri, perasaan iba atas segala sesuatu yang menyentuh hati menjadikan kita lupa daratan, lupa kesalahan orang yang pernah menyakiti kita, lupa apakah benar soeharto bersalah atau tidak. Segala kekeliruan yang pernah dilakukan terkubur dengan sebatas ucapan maaf, padahal sebelumnya melakukan kesalahan yang sulit sekali diterima hati nurani, apalagi belum adanya proses pengadilan yang jelas atas perkaranya.
Sakitnya soeharto menjadi alasan mengapa kita merasa kasihan dan ingin sekali memaafkannya, tapi ketika kita melihat selama dia menjabat sebagai pemegang kebijakan Negara, dengan segala kesewenang-wenangannya apakah masih pantas kita memaafkan?. Dosa politik yang di lakukannya selama ia berkuasa lebih dari 30 tahun harus dipertaggungjawabkan. Pertanggungjawaban dosa ini wajib dilakukan sebagai bukti tanggung jawab social, sebelum mempertanggungjawabkan kepada Tuhan yang maha adil. Selain itu kiranya dapat di ambil pelajaran bagi pemimpin masa depan, supaya tidak hanya lenggang kangkung setelah merampok dan menikmati kekayaan Negara.
Sosok menakutkan di masa lalu masih terasa di masyarakat, kekejaman dan penindasan penguasa tersirat dari pemerintahan yang dipimpinnya, seorang pemimpin yang terkenal dengan wujud kekuatan TNI yang otoriter lagi kejam.
Belum bisa hilang dari ingatan kita kekerasan-kekerasan Negara yang melibatkan kekuatan militer. Sehingga memunculkan rezim yang menggunakan kekuatan untuk menindas rakyat demi melanggengkan kekusaan. Tidak pandang bulu semua yang menghalangi harus dipangkas habis, kita masih sering merinding ketika mendengar kasus-kasus pembantaian yang dilakukan oleh Negara, seperti peristiwa MALARI, tragedy Tanjung Priok, dan tragedy Tri Sakti, semuanya seolah kabur dengan hanya mengucapkan kata maaf.
Kasus Tri Sakti dan beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang lain masih menggantung belum ada kejelasan perkara. Para keluarga korban pencari keadilan merasa dibohongi dengan janji-janji yang makin tidak pasti.
Selain kekerasan dan pelanggaran HAM, Soeharto juga terkenal dengan 12 Yayasan bermasalah yang selama ini mampu menghidupi anak cucunya. Yayasan yang diperkirakan merugikan Negara sampai 1,3 triliyun selama ini belum ada kejelasan. Apakah nantinya diserahkan pada rakyat atau tetap menjadi harta keluarga.
Pemerintah yang lemah
Kerasnya upaya menegakkan hukum masih banyak menyisakan kritik, betapa pemerintahan dalam beberapa aspek amat lemah dan tidak konsisten. Pemerintah terkesan amat lemah terhadap pemberantasan koruspsi bagi para elit politik dan terkesan hanya tebang pilih, hal ini menandakan masih banyak elite kepolisian serta kejaksaan yang tidak bersih. Banyaknya kroni-kroni soeharto yang bercokol di pemerintahan dapat menjadi alasan mengapa agenda reformasi menjadi macet.
Pemerintah yang berterik lantang atas pemberantasan tindak pidana dan segala yang melanggar undang-undang ternyata hanya isapan jempol, banyak kasus-kasus kelas kakap yang bebas begitu saja, Lihat saja vonis bebas yang diberikan kepada Nudin Halid pidana kasus korupsi dana Bulog sebesar Rp. 196 miliar, Pande Lubis kasus Bank Bali yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 904 miliyar, Muktar Pakpahan korupsi dana Jamsostek senilai Rp. 1,8 miliyar (SM.23/2/2006). Semua itu menjadi bukti bahwa pemerintah saat ini masih kurang konsisten dalam menjalankan tugasnya.
Praktek pemberantasan korupsi yang setengah-setengah, berat sebelah, tidak sesuai dengan kenyataan dan harapan masyarakt masih bisa ditemui di Negri ini. Karena beberapa hal yang dilupakan dari para penegak hukum.
Pertama penegak hukum yang masih dapat dibengkokan atau tidak konsisten dengan sumpah jabatan dan tugas yang diemban. Entah itu dari rekanan, keluarga atau dengan rupiah. Penanganan kasus hanya sampai sebatas yang sangat tertentu saja. Seperti yang dikatakan G. A. Van Poelje bahwa para penegak hukum sering hanya seperti tongkat yang patah yang tidak dapat berbuat apa-apa dalam bebrapa kasus. Walaupun ada banyak UU anti korupsi yang dikelurkan, kalau para penegaknya tidak konsisten hanya menambah daftar permainan bagi mereka. Kedua adanya KKN yang sudah mendarah mendaging, keberadaannya ada dimana-mana sehingga sangat sulit untuk memberantasnya. Ketiga kurang efektivnya lembaga penegak keadilan, selama ini semakin banyaknya lembaga yang dibentuk maka semakin banyak pula praktik dan tindak KKN di dalam lembaga tersebut. Maka perlu adanya tindakan tegas dan kaseriusan dari para penegak hukum yang sudah kita amanati. Sehingga siapapun yang melakukan kesalahan wajib diproses dipengadilan.
Kata Maaf, Solusi?
Ada beberapa tokoh yang menganggap bahwa sikap meminta maaf dari keluarga besar Soeharto merupakan sifat yang legowo yang patut dihargai, seperti yang di sampaikan mantan ketua Muhammadiyah syafii ma’arif. Dia menilai bahwa permintaan maaf itu adalah jalan terbaik saat ini, melihat kondisi yang tidak memungkinkan.
Tetapi tidak dengan kelompok masyarakat yang menginginkan terciptanya keadilan, disamping harus diproses dalam persidangan, harta yang di miliki keluarga Cendana ini harus diserahkan pada rakaya, karena itu mutlak sebagai ganti rugi rakyat yang teraniaya.
Memang menurut penulis, kalau hanya dengan kata maaf tidak ada unsur jera didalamnya, dan tidak akan membalikkan keadaan bangsa ini yang sudah terlanjur terpuruk. Apalagi melihat kedepan nantinya, semua pesakitan dari elit politik pasti akan menggunakan kalimat maaf sebagi senjata pamungkas untuk “membeli” hukum.

JANGAN KECEWAKAN BURUH


Oleh : Rois Setiawan

Pro-kontra revisi undang-undang no 13/2003 tentang ketenagakerjaan, merupakan pertarungan antara hak dan kewajiban. Dalam hal ini diperankan olah pengusaha dan buruh, dan akan menjadi semakin sengit apabila dipadukan dengan kepentingan pemerintah. Dari buruh menghendaki agar revisi dibatalkan, dilain pihak, pengusaha melalui kewenangan pemerintah tetap ngotot dengan revisi (Kompas, 2/4/2006).
Buruh menyatakan bahwa revisi tersebut nantinya tidak bisa menjamin hak kerja. Hal ini disebabkan, sistem kerja yang makin fleksibel membuat peran buruh semakin terjepit, serta tidak dapat memperoleh kesejahteraan hidup yang sesuai dengan UMK yang diberlakukan dan rentan PHK. Buruh hanya dibuat “permainan dagang” antara pengusaha dan pemerintah untuk menarik investor asing. Dengan alasan inilah mengapa buruh menolak direvisinya UU no. 13/2003 tersebut.
Sedangkan dari pengusaha dan pemerintah sendiri menyatakan bahwa revisi tersebut mutlak dilakukan, karena selain untuk mengatur hubungan antara buruh dengan pengusaha juga utuk menarik datangnya investor, demi pertumbuhan ekonomi bangsa. Dapat dilihat dari komentar Erman Suparno, dan Wapres Jusuf Kalla di tengah-tengah kunjungannya ke Malaysia.
Kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah memang permasalahan buruh merupakan faktor utama penyebab macetnya investor masuk ke indonesia? dan apakah hubungan kerja yang diatur UU 13/2003 belum sesuai?. Mengenai macetnya investor, ada banyak faktor yang menghambat berkembangnya investasi di Indonesia, salah satu yang paling mencolok adalah birokrasi yang berbelit-belit dan korup yang diakui pengusaha lokal maupun asing, serta biaya produksi yang bertambah akibat kenaikan BBM sehingga kalau dibandingkan dengan biaya produksi di negara tetangga level Asia Tenggara saja sangat tidak bersaing.
Sedangkan yang menyangkut hubungan buruh dengan pengusaha yang menjadi perdebatan adalah diberlakukannya sistem fleksibilitas, baik dalam produksi maupun hubungan perburuhan. Pengusaha dapat seenaknya menentukan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada saat tertentu, jumlah jam kerja dan shift ditentukan oleh majikan, Penugasan dan rotasi kerja berdasarkan kebutuhan majikan. Selain itu dampak yang pasti adalah kesejahteraan buruh semakin berkurang, seperti tidak adanya jaminan keberlangsungan kerja bagi buruh (job insecurity), upah yang diterima buruh lebih rendah, dan tidak adanya jaminan sosial.
Jalan yang mungkin bisa diupayakan secara bersama adalah mendesak pemerintah untuk secara tegas melarang fleksibilitas tenaga kerja dengan membuat peraturan di bawahnya yang lebih rinci dan operasional, karena feleksibilitas kerja sangat rentan akan PHK, dan tingginya angka PHK secara otomatis akan menambah pengangguran. Kedua perbaikan iklim birokrasi yang tidak berbelit. Ketiga, perbaiki iklim keamanan bangsa. Keempat, tingkatkan mutu tenaga kerja, karena dengan meningkatnya mutu tenaga kerja niscaya akan menumbuhkan kualitas produksi dan dapat mengangkat daya saing dengan negara lain, sehingga investor nantinya akan datang dengan sendirinya. Ahirnya dengan adanya peraturan yang tidak mengecewakan buruh diharapkan dapat meningkatkan produktifitas perusahaan yang mendorong majunya perekonomian bangsa.

ANCAMAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT


Oleh : Rois Setiawan
Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang akan diberlakukan mulai bulan Mei mendatang, merupakan bunga dari subsidi BBM yang harus dibayar mahal oleh rakyat. Setelah pemerintah memberikan subsidi BBM yang tidak seberapa, pemerintah layaknya orang tua yang telah memberikan uang jajan kepada anaknya kemudian membebaninya dengan berbagai macam tugas, dengan sedikit sogokan terhadap rakyat, pemerintah ingin membuat masyarakat mau membalas budi yang telah memberikan. Melalui subsidi BBM masyarakat dibebani untuk dapat menerima kenaikan tarif listrik.
Setelah beberapa bulan yang lalu harga bahan bakar minyak (BBM) naik dan disusul dengan naiknya harga-harga sembako dan tarif angkutan umum, muncul lagi kegelisahan yang akan membuat masyarakat kian sengsara.
Naiknya tarif dasar listrik yang katanya untuk menutupi hutang PLN, merupakan kado yang kesekian kalinya dari pemerintah untuk rakyatnya. Kado pemiskinan yang tidak diharapkan akan terjadi seiring dengan berbagai bencana yang beruntun, dan gencarnya kampanye terhadap pengentasan kemiskinan.
Kebijakan menaikan kenaikan tarif dasar listrik terkesan reaksioner dan hanya menuruti kepentingan PLN saja tanpa mempertimbangkan nasib yang akan ditimbulkan, kebijakan yang menyangkut hajat masyarakat banyak pasti akan menimbulkan efek domino yang menyengsarakan masyarakat. Karena tidak hanya para pengusaha besar saja yang menggunakan tenaga listrik, usaha kecil dan menengah yang sedang dikembangkan di masyarakat akan merugi dan akhiirnya gulug tikar. Dan bisa diprediksikan kenaikan tersebut pasti akan mengakibatkan kenaikan-kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang lain.
Selain adanya kenaikan harga-harga dipasaran, pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan yang merugi akibat naiknya tarif listrik bakal marak terjadi, banyaknya buruh yang tidak digaji beberapa bulan akibat perusahaan merugi menambah deretan panjang nasib rakyat miskin.
Disamping itu terjadinya pertumbuhan perusahaan yang lamban akibat beban produksi yang ditanggung sedangkan pemasukan yang sedikit pesti bakal terjadi. Kehawatiran mengenai timpangnya pemerataan subsidi yang dianggarkan pemerintah terhadap tarif listrik bagi perusahaan juga akan dirasakan apabila nantinya jadi dinaikkan. Permasalahan yang lain yang disebabkan adalah penyediaan lapangan kerja makin sulit karena banyaknya perusahaan yang bangkrut, dan tidak menutup kemungkinan dengan stabilitas nasional yang terancam.
Kesemuanya merupakan kehawatiran yang nantinya akan ditimbulkan. Begitu besarnya imbas yang di timbulkan, pemerintah perlu meninjau keputusan tersebut agar nantinya tidak menimbulkan kesengsaraan yang makin akut.
Dengan pertimbangan yang matang dan seimbang antara keadaan yang dialami Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan keadaan yang dialami masyarakat harus bisa dipertemukan. Bukannya sebagai dua kutub yang harus dipertentangkan dan tidak ada solusi yang tepat.
Salah satu yang perlu diselesaikan adalah kasus pemalakan terhadap kekayaan hasil migas bangsa Indonesia yang mengakibatkan negara merugi. Hasil migas apabila dapat diolah dan diatur dengan benar dan tidak menggantungkan pengelolaannya dengan perusahaan luar negri pastinya hutang yang ditanggung PLN dapat terlunasi. Kedua, naikkan sektor lain yang tidak merugikan semua orang terutama rakyat miskin, hal ini guna menyubsidi sektor yang banyak hutang seperti PLN ini. Ketiga, penyitaan harta koruptor, banyaknya harta negara yang dikemplang para koruptor banyak yang lolos dan tidak kembali.
Selain itu semua adanya kerja sama antara PLN dengan masyarakat tentang kesadaran pentingnya hemat energi perlu digalakkan kembali. Aksi hemat energi yang dimotori oleh pemerintah dan ditindak lanjuti oleh semua kalangan terbukti efektif dalam mengembalikan devisa negara.

TRY OUT POLITIK TNI

Oleh : Rois Setiawan*
Hak berpolitik merupakan hak asasi tiap individu yang tidak bisa diatur oleh orang lain. Karena dengan mengatur hak orang lain sama juga mengebiri demokrasi, tidak terkecuali TNI, karena TNI juga merupan salah satu pilar dalam menjaga keamanan Negara, sama dengan masyarakat lainnya yang memiliki hak berpolitik. Merebaknya wacana TNI kembali berpolitik merupakan wujud dari demokrasi yang harus dijunjung dan dihargai semua elemen. Terlepas dari masa lalu yang suram bagi “karir” politik TNI, diera reformasi saat ini, kita tidak bisa menafikan kebebasan berpendapat (politik) bagi semua golongan.
Tapi ketakutan akan masa lalu yang dirasakan masyarakat akan wujud TNI yang kejam, sok berkuasa, otoriter dan tergantung perintah atasan masih dirasakan masyarakat sampai saat ini, belum bisa hilang dari ingatan kita kekerasan-kekekrasan Negara yang melibatkan kekuatan militer masih terus menghantui. Kehawatiran seperti itu ahirnya menimbulkan prasangka bahwa nantinaya militer tidak akan bisa berdemokrasi dengan baik dan ahirnya memunculkan rezim totalitarian baru. Rezim yang menggunakan kekuatan untuk melanggengkan kekusaan.
Kehawatiran seperti ini seharusnya menjadi tantangan dan sekaligus sebagai bahan intropeksi bagi TNI, untuk bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa TNI sekarang memiliki paradigma yang baru, dan bisa lebih dewasa mensikapi dan mendudukan antara menjadi politikus dan menjadi militer yang professional, dengan proporsinya masing-masing. Maka hal ini perlu dibuktikan dengan menguji (Try out) kelayakan dan kedewasaan TNI dalam berpolitik. Bukan berarti coba-coba dengan nasib bangsa, tapi demi menjaga kelangsungan demokrasi bangsa yang kian tidak jelas.
Try out politik TNI tidak perlu menunggu jauh-jauh pemilu tahun 2014, karena untuk membuktikan bagaimana kiprah TNI dalam berpolitik, perlu pembuktian yang secepatnya. Bisa dilihat bersama-sama apakah dalam priode yang ditentukan, TNI mampu bersikap dewasa apa belum, apakah bisa menjunjung hak-hak masyarakat sipil apa masih terjebak dalam sikap membela golongan sendiri. Kalau dirasakan masih belum maka hak politik TNI harus ditunda atau lebih-lebih dihapus dan cukup untuk menjaga keamanan bangsa saja.
Penilaian Try out yang perlu dan harus diperhatikan adalah pertama, loyalitas sikap TNI pada masyarakat sipil, maksudnya adalah berapa besar mereka membela dan menegakkan hak-hak masyarakat sipil. Karena dengan melihat loyalitas yang tinggi pada masyarakat menandakan bahwa TNI benar-benar sudah mampu untuk berpolitik. Disini perlu dibentuk atau di didik sikap atau mental yang mau berbeda dengan atasannya karena kalau masih mem-beo dengan atasan pasti belum dewasa, dan ahirnya akan timbul kekuatan totaliter baru. Kedua, sikap independent dalam berpolitik, sikap yang harus di miliki oleh semua anggota TNI, karena selama ini yang kita saksikan adalah keberpihakan TNI kepada penguasa, sehingga TNI hanya dibuat sebagai kendaraan untuk melanggengkan status quo. Dalam pelaksanaannya politisi yang berasal dari TNI perlu mengikuti jenjang pendidikan politik, dan harus keluar dari struktur TNI. Ketiga, sikap tegas dalam mengambil kebijakan dan menegakkan keadilan yang pro rakyat, yang dimiliki dalam jiwa TNI harus tetap dijaga, karena melihat komdisi politikus saat ini yang makin plin-plan dengan kibajakan-kebijakan yang dibuat, membuat masyarakat merasa terus dipermainkan.
Waktu yang diberikan dalam try out ini harus benar-benar dijadikan landasan pertimbangan, karena nantinya sikap TNI yang hanya manis dalam Try out saja dan yang sungguh-sungguh untuk menjadi politisi, bisa dilihat semua orang, sehingga bisa dinilai bersama dan tidak menduga tanpa ada bukti sebelumnya. Dan tidak asal memberikan sanksi penghilangan hak berpolitik.
Karena tidak bisa dipungkiri lagi kiprah sosial politik TNI dimasa mendatang sangat dibutuhkan dalam peranannya dalam membangun dan menjaga keutuhan bangsa. Menjaga keutuhan bangsa, melalui perpolitikan yang sehat TNI bersama-sama para politikus lainnya bisa mulai mendorong terbentuknya demokrasi, keamana, dan mewujudkan masyarakat madani (civil society) yang diidam-idamkan bangsa Indonesia. Selain TNI juga harus tetap menjalankan tugasnya sebagai TNI yang professional dalam menjaga keamanan dari internal bangsa maupun dari eksternal bangsa.

Sabtu, 12 Januari 2008

MENIMBANG KEDEWASAAN POLITIK TNI


Oleh : Rois Setiawan*
Hak berpolitik merupakan hak asasi tiap individu yang tidak bisa diatur oleh orang lain. Karena dengan mengatur hak orang lain sama juga mengebiri demokrasi. Tidak terkecuali hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang dimiliki TNI. Dilihat dari segi hak TNI juga sama dengan masyarakat lainnya yang memiliki hak berpolitik.
Merebaknya wacana TNI kembali berpolitik merupakan wujud dari demokrasi yang harus dijunjung dan dihargai semua elemen. Terlepas dari masa lalu yang suram bagi “karir” politik TNI. Apalagi diera reformasi saat ini, kita tidak bisa menafikan kebebasan berpendapat (politik) bagi semua golongan.
Ketakutan akan masa lalu yang dirasakan masyarakat akan wujud TNI yang kejam, sok berkuasa, otoriter dan mem-beo, masih dirasakan masyarakat sampai saat ini. Dan belum bisa hilang dari ingatan kita, kekerasan-kekekrasan Negara yang melibatkan kekuatan militer masih terus menghantui. Kehawatiran seperti itu menimbulkan prasangka bahwa nantinaya militer tidak akan bisa berdemokrasi dengan baik dan ahirnya memunculkan rezim totalitarian baru. Rezim yang menggunakan kekuatan untuk melanggengkan kekusaan.
Adanya penolakan masyarakat terhadap hak militer (TNI) dalam berpolitik menjadi sangat realistis mengingat masih kuatnya memory kolektif masyarakat, akan tindakan otoritarianisme dan diktatornya rezim Orde Baru yang notabene adalah militer. Sehingga memunculkan ketakutan-ketakutan akan kembalinya pemerintahan baru (neo-orba).
Selain itu, sikap penolakan ini tentunya didasari atas beberapa alasan, salah satunya adalah cara pandang TNI yang berangkat dari embrio cara pandang yang sama yaitu institutional building of militerism. Salah satu pointnya cara pandang ini adalah institusionalisasi militer di Indonesia dari TKR menjadi TNI, dengan cara menempatkan formalisasi jenjang dan kepangkatan dalam militer dan mempertegas asal usul formal dan karier militer khususnya bagi mereka yang akan menduduki jabatan perwira tinggi.
Kehawatiran seperti ini seharusnya menjadi tantangan dan sekaligus sebagai bahan intropeksi bagi TNI, untuk bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa TNI sekarang memiliki paradigma yang baru, dan bisa lebih dewasa mensikapi dan mendudukan antara menjadi politikus dan menjadi militer yang professional, dengan proporsinya masing-masing.
Maka hal ini perlu dibuktikan dengan menguji (Try out) kelayakan dan kedewasaan TNI dalam berpolitik. Bukan berarti coba-coba dengan nasib bangsa, tapi demi menjaga kelangsungan demokrasi bangsa yang kian tidak jelas.
Try out politik TNI tidak perlu menunggu jauh-jauh pemilu tahun 2014, karena untuk membuktikan bagaimana kiprah TNI dalam berpolitik, perlu pembuktian yang secepatnya. Bisa dilihat bersama-sama apakah dalam priode yang ditentukan, TNI mampu bersikap dewasa apa belum, apakah bisa menjunjung hak-hak masyarakat sipil atau apakah masih terjebak dalam sikap primordialisme golongan sendiri. Sehingga kalau memang nantinya dirasakan masih belum dewasa dan masih perlu belajar berdemokrasi, maka hak politik TNI harus ditunda atau lebih-lebih dihapus dan cukup untuk menjaga keamanan bangsa saja.
Penilaian Try out yang perlu dan harus diperhatikan adalah pertama, loyalitas sikap TNI pada masyarakat sipil, maksudnya adalah berapa besar mereka membela dan menegakkan hak-hak masyarakat sipil. Dengan dibuktikan dengan tindakan yang riil dari TNI. Karena dengan melihat loyalitas yang tinggi pada masyarakat menandakan bahwa TNI benar-benar sudah mampu untuk berpolitik. Disini perlu dibentuk atau dididik sikap atau mental yang mau dan berani berbeda dengan atasannya, karena kalau masih mem-beo dengan atasan pasti belum mampu berpolitik secara dewasa, dan ahirnya akan timbul kekuatan totaliter baru. Kedua, sikap independent dalam berpolitik, sikap yang harus di miliki oleh semua anggota TNI, karena selama ini yang kita saksikan adalah keberpihakan TNI kepada penguasa, sehingga TNI hanya dibuat sebagai kendaraan untuk melanggengkan status quo. Dalam pelaksanaannya politisi yang berasal dari TNI perlu mengikuti jenjang pendidikan politik, dan harus keluar dari struktur TNI. Ketiga, sikap tegas dalam mengambil kebijakan dan menegakkan keadilan yang pro rakyat, yang dimiliki dalam jiwa TNI harus tetap dijaga, karena melihat kondisi politikus saat ini yang makin plin-plan dengan kibajakan-kebijakan yang dibuat, membuat masyarakat merasa terus dipermainkan.
Waktu yang diberikan dalam try out ini harus benar-benar dijadikan landasan pertimbangan, karena nantinya sikap TNI yang hanya manis dalam Try out saja dan yang sungguh-sungguh untuk menjadi politisi bisa dilihat dan dijadikan pertimbangan, sehingga bisa dinilai bersama dan tidak menduga tanpa ada bukti sebelumnya. Dan tidak asal memberikan sanksi penghilangan hak berpolitik.
Karena tidak bisa dipungkiri lagi kiprah sosial politik TNI di masa mendatang sangat dibutuhkan dalam peranannya dalam membangun dan menjaga keutuhan bangsa. Menjaga keutuhan bangsa, melalui perpolitikan yang sehat TNI bersama-sama para politikus lainnya bisa mulai mendorong terbentuknya demokrasi, keamana, dan mewujudkan masyarakat madani (civil society) yang diidam-idamkan bangsa Indonesia. Selain TNI juga harus tetap menjalankan tugasnya sebagai TNI yang professional dalam menjaga keamanan dari internal bangsa maupun dari eksternal bangsa.