Minggu, 18 November 2007

males

yakin....
tapi kayaknya gak yakin deh
diyakinin dong
"kenapa kamu!!" sahut orang ke3
gak enak jadi orang yang suka bingung, apalagi pas nentuin hal yang sangat penting dan harus secepatnya, wah jadi males.

CERMIN BUDAYA INDONESIA?

Apa kata dunia? Mungkin itu yang akan dikatakan seorang Naga Bonar jika melihat bahwa seorang pesakitan dapat memimpin lembaga sekelas PSSI. Sungguh ironis, tapi memang itulah kenyataannya. Seorang Nurdin Halid yang mendekam dipenjara masih menjabat menjadi ketua umum PSSI. Lembaga yang menjunjung tinggi sportifitas ternyata masih dihuni oleh orang-orang yang berprilaku tidak sportif dengan mengkorupsi dana pengadaan minyak goreng senilai Rp 168 miliar yang tidak disetorkan ke Bulog. Apakah memang kinerja Nurdin Halid cukup bagus? sehingga banyak yang tidak rela kalau dia dicopot? atau ada yang salah dari kita?

Kontroversi
Kasus seperti ini bukan kali pertama dia alami. Pada 16 Juli 2004, dia ditahan sebagai tersangka dalam kasus penyelundupan gula impor ilegal. Ia kemudian juga ditahan atas dugaan korupsi dalam distribusi minyak goreng. Hampir setahun kemudian pada tanggal 16 Juni 2005, dia dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dibebaskan. Putusan ini lalu dibatalkan Mahkamah Agung pada 13 September 2007 yang memvonis Nurdin dua tahun penjara. Ia kemudian dituntut dalam kasus gula impor pada September 2005, namun dakwaan terhadapnya ditolak majelis hakim pada 15 Desember 2005 karena berita acara pemeriksaan (BAP) perkaranya cacat hukum.
Dan saat ini dia mendekam kembali di rutan Salemba. Tidak bisa dibayangkan seorang koruptor yang berada dalam penjara menjalankan roda kepemimpinan. Kontroversi ini menunjukkan budaya korupsi yang ada di Indonesia seakan memperoleh lahan yang subur, malah mendapat fasilitas yang istimewa, menjadi pemimpin. Salah satunya karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Sejak dahulu kala, para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup karena memang demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tidak ada rakyat dalam benak mereka apalagi kesejahteraan.
Tanpa Pamrih
Ada beberapa hal yang menyebabkan pergeseran paradigma dari masyarakat, pertama karena budaya yang dikembangkan adalah budaya malu atau (Same Culture), budaya yang menekankan bahwa prinsip itu dipengaruhi dari luar atau dari orang lain. Kalau memang tidak ada yang melihat semua halal dilakukan, budaya malu hanya menimbulkan kemunafikan tidak adanya kejujuran dari dalam diri untuk memegang prinsip. Seperti halnya Nurdin atau para koruptor yang lain pun juga begitu, menganggap bahwa ini adalah kesempatan besar. Dan menerapkan “aji mumpung” mumpung tidak ada orang, mumpung masih punya kekuasaan, dan mumpung orang-orang masih bisa ditipu. Kedua rasa bersalah sedikit-demi sedikit luntur, tidak ada perasaan bersalah dalam diri orang yang korup. Prinsip “kepemilikan” kabur dan yang ada hanya milikku dan milikku tidak ada kata milikmu yang tidak boleh aku ambil.
Ketiga, masyarakat sipilnya kurang berperan serta dalam pengambilan keputusan publik, dan proses-proses birokrasi serta politik berlangsung kurang terbuka dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, aparat negara yang efektif, serta kemampuan menegakkan hukum nyaris tidak ada. Keempat prinsip Jawa rame ing gawe sepi ing pamrih (giat bekerja tanpa pamrih) masih belum mendarah dalam jiwa kita dan cenderung melupakannya, prinsip yang mendahulukan amal terhadap orang lain tidak berlaku lagi, apalagi tidak mau cari pamrih, pemimpin seperti itu saat ini sangat sulit didapatkan di indonesia, yang diburu semua hanya kekuasaan dan kekayaan, sehingga tugas pokok pemimpin sebagai pengayom sekaligus sebagai suri tauladan sudah dilupakan.

CERMIN BUDAYA INDONESIA?