Kamis, 09 Oktober 2008

TEMAN PERJALANAN

Oleh: Rois*
Sesekali aku melihat ke sepion motorku. Bukannya untuk melihat apakah ada motor atau mobil yang akan menyalip. Tapi hanya untuk melihat wajahmu. Sengaja aku arahkan sepion ini menghadap kewajahmu biar aku dapat memandangimu. Biarlah wajah elokmu menghiasai kaca sepionku. Tapi terkdang kamu sendiri yang merasa malu. Merasa aku perhatikan, kaca sepionpun kamu adapkan ke bawah. Dan dengan senang hati aku hadapkan lagi kewajahmu. Indah sekali. Apalagi ketika kamu tersenyum tersipu dan matamu menatap mataku melalui kaca sepion itu, hampir-hampir saja aku menabrak mobil yang ada didepanku. Sungguh.

Sudahlah biarkan saja kaca sepion ini memantulkan kemilau keindahan. Keindahan yang tidak setiap hari aku rasakan. Walau kacanya agak buram, tatap saja terasa pancaran wajahmu itu. Dengan degub yang sengaja aku jaga iramanya, dengan sesekali menahan nafas untuk mengatur kembali nafas, kita sama-sama ingin menyatukan ingin dan rasa ini.

Dalam perjalanan ini rasanya perbincangan tidaklah penting. Aku merasa perbincangan hanya akan membuyarkan konsentrasiku menikmatimu. Biarlah hati kita yang saling berkomunikasi. Kata orang ketika kita sedang dekat dengan seseorang, kata hati lebih tajam dan lebih peka dalam mengurai ingin kita.

Tidak mau aku berkata padamu. Bukannya aku tidak ingin atau tidak suka padamu. Bukannya tidak mau aku merayumu, dengan kata-kata yang indah atau dengan cerita konyol atau dengan puisi cinta layaknya seorang yang lagi kasmaran. Tidak ingin pula aku mendiskusikan persoalan kehidupan ini padamu. Persoalah yang menjerat segala kesenangan kita. Biar persolan itu aku buang jauh-jauh. Jauh di pedalaman desa yang tandus, biar persoalan itu ikut mengering dan hilang ditelan tanah yang merekah. Sengaja aku diamkan kamu, biarlah kamu seperti itu, tersipu malu dalam kaca sepion yang kemudian kamu bengkokkan kebawah.

Bukannya lidah ini kelu atau rasa ini telah meradang. Tapi aku tidak mau melenceng dengan rasa ini. Ahirnya kata hanya menjauhkan dari apa yang aku rasakan. Aku tidak ingin teman perjalananku ini hilang begitu saja seperti yang lain.

Dulu sebelum kamu menemaniku dalam perjalanan dengan motor ini, aku sering sekali melamun. Ada apa di ujung dari perjalanan ini. Apakah perjalanan ini ada akhirnya. Sampaikah aku pada tujuanku. Atau hanya akan berahir dalam perjalanan ini. Akan ada apa di jalan raya yang aku lewati itu. Ah, entahlah, aku hanya bisa menduga. Dan hanya meraba-raba. Pernah sekali aku merasakan hawatir tidak akan sampai pada tujuan. Dan hanya di jalan raya itu aku berhenti, untuk mengahiri sebuah perjalanan ini. Tapi kehawatiran itu pupus sesampainya aku ditempat tujuan.

Bedanya dulu, dalam kesendirianku itu, aku coba untuk bercengkrama dan bercakap-cakap dengan seseorang entah siapa. Yang penting aku tidak kesepian. Di jalan raya yang rame itu, manusia bisa mati mendadak hanya gara-gara rasa sepi itu. Dan aku tidak ingin yang seperti itu. Ahirnya aku ciptakan kawan dalam perjalannku. Pernah ada seorang profesor yang mendampingiku, pernah juga ada seorang Dai kondang yang menceramahi aku disepanjang jalan. Sampai-sampai banyak orang melongo melihat diriku yang berbicara sendiri ketika berhenti di lampu merah.

Pernah juga aku ciptakan seorang nara pidana yang mau melarikan diri. Dia ingin lari dari hukuman mati. Minta aku untuk melarikannya kemanapun terserah yang penting selamat dari jeratan hukum.

Dalam kesendirianku, aku tidak tahu siapa lagi yang akan menumpang di motorku ini. Baik atau buruk orang itu. Memang bukan pekerjaan yang enak membawa orang yang tidak tahu asalnya. Kadang aku juga merasa jengkel ketika aku menciptakan sediri seorang kakek tua yang mau bertemu dengan cucunya. Dia takut kalau aku ngebut. Tapi dia juga tidak mau kalau dia terlambat di acara ulang tahun cucunya. Sungguh sangat membingungkan. Yang akibatnya membuat aku mual dan mutah diahir tujuan.

Ada juga kisah sedih ketika aku memboncengkan seorang yang mau melahirkan. Siapa yang sangka kalau seorang ibu yang mau melahirkan dijalan mau aku ajak menuju rumah sakit bersalin hanya dengan menggunakan roda dua. Dan belum sampai di rumah sakit si ibu itu sudah melahirkan di jok motorku. Bingung rasa ini, mau aku apakan bayi itu. Untung mereka berdua selamat. Walau ibunya sempat pingsan. Di trotoar jalan raya aku berhenti dan menjaga keduanya. ahirnya aku hanya menjadi tontonan orang yang lewat. Tidak ada seorang pun yang melihat bahwa ada seorang yang melahirkan dan harus segera ditolong, mereka memandangiku dengan pandangan yang aneh dan heran mengapa aku ini. Teriak-teriak sendiri. Dan setelah sang ibu itu seiuman aku antarkan sampai rumah sakit bersalin. Dan hilanglah dia. Layaknya teman-temanku yang lain. Hilang begitu saja.

Dalam perjalananku berkendaraan dulu, juga pernah aku merasakan bagaimana kedua roda motorku itu saling pukul. Bukannya protes dengan berat badanku atau tidak mau ada penumpang lain di motor ini. Tapi mereka tidak mau ada yang kalah. Ingin sekali semua didepan. Saling mendahului kalau ada yang kalah berarti harus dikempeskan dan dibuang. Aneh sekali kedaan waktu itu. Motor yang biasanya aku naiki dengan rasa aman dan penuh keceriaan, berubah menjadi pertarungan yang sengit berebut menjadi yang didepan. Roda-roda itu ahirnya patah dan tidak ada yang menjadi juara. Ahirnya aku buang ke pengepul barang rongsok. Apa boleh buat ahirnya aku cari roda yang baru lagi.

Dan aneh juga ketika suatu ketika roda motorku tidak mau lagi berputar. Bukannya gir atau rantainya putus. Benar-benar mereka ngambek dan tidak mau berputar lagi. Dan ahirnya tidak ada lagi irama naik turunnya lingkaran roda yang menghasilkan sebuah gerak yang enak untuk dinikmati. Mereka merasa takut berada ketika dibawah. Berada pada posisi yang paling tidak mengenakkan bagi mereka, posisi yang tertindas dan menjadi tumpuan berat motor dan penumpangnya. Mereka merasa takut dan bosan ketika bertemu dengan panasnya aspal, bertemu dengan baunya kotoran kuda atau kotoran kambing. Atau bertemu dengan batu-batuan tajam. Lebih-lebih ketika mereka memikirkan masa depannya. Sungguh aneh pikirku. Mereka meraska kalau dibawah nanti tidak ada kelanjutan dari hidup mereka. Mereka akan semakin tipis dan dibuang. Tidak ada lagi kebanggan menjadi sebuah roda kata mereka. Tapi dengan segala rayuan dan bujukanku ahirnya mereka mau lagi berputar, dan mau berusaha kembali menapaki setiap jalan yang akan aku lalui.

Tapi anehnya dalam setiap perjalan aku sulit sekali menciptakan sesosok teman perempuan. Atau kalau bisa ya tidak akan lama, dan selalu sebentar saja menemaniku. Ingin sekali aku bercengkrama panjang lebar dan berbagi pengalaman dengan sosok yang harum dan tidak rewel seperti kebanyakan temanku tadi. Sukur-sukur mau untuk aku jadikan pasangan hidup. Tapi Setiap kali aku mendapatkan teman perempuan itu pasti tidak lama betah membonceng di belakang. Tidak tahu mengapa. Biasanya alasan yang sering sekali aku dengar karena sudah sampai tujuan, walau aku tahu bahwa dia itu bohong, atau paling tidak merasa sudah ada tumpangan yang lain yang lebih nyaman. Dan rela melompat dari boncenganku. Padahal masih dalam keadaan ngebut di jalan raya. Ahirnya aku putuskan untuk tidak lagi membuat tokoh perempuan. Capek aku dibutnya. Walau harum dan tidak rewel tapi malah membikin dongkol dan kecewa hati ini. sayang sekali.

Dan siang itu sekitar jam dua, setelah aku mengantarkan seorang teman. Seorang teman kecil yang ingin sekali ke kebun binatang. Katannya mau melihat macam-macam binatang yang lucu-lucu dan unik. Mendadak aku menemukan dirimu, tersenyum padaku. Tersentak aku dengan senyuman itu. Aku tidak menyangka senyuman itu layaknya percikan bara api yang membakar seluruh rimba hati ini. Hati yang dulunya dihuni semak belukar menjadi membara dibakar api. Entah api apa ini namanya. Kobran api ini tidak menghanguskan atau melelehkan segala isi rimba itu. Tapi ada satu biji yang tersisa. yang anehnya biji itu tidak hangus tapi makin menjadi subur dan bisa membentuk oase di dalam kobaran api. Bayangkan, sepercik senyum yang menghidupkan.

Seorang bidadarikah, manusiakah, atau jangan-jangan tidak kedua-duanya. Wajahnya yang sedikit lonjong, kulit putih, rambut lurus hitam mengkilat. Dan mata itu. Ya mata yang selama ini aku impikan. Sendu agak sipit. Dan lentik bulu mata yang menusuk mata yang memandangnya. Aku yakin ini tidak mimpi. Dan aku pastikan pula pada diriku, tidak mungkin bidadri turun ke bumi ini hanya untuk menemuiku. Aku raba lagi ingatanku. Masih sadarkah aku atau sudah hilang dalam lamunan.

Aku berhenti sejenak memandang dan membalas senyumannya. Berawal dari keheningan itulah aku merasa ada makna yang merasuk dalam kalbuku itu. Isyarat yang terbalas dengan indahnya sambutan hangat. Dan luar biasa dia mau aku ajak berboncengan. Tidak takutkah kulitmu yang putih terkena debu dan panasnya matahari tanyaku dalam hati. Yang penting kamu mau menemaniku dalam perjalanan ini.

Dalam hati aku berkata mimpi apa aku semalam. Tidak perlu lagi aku membuat teman rekaan yang menemaniku dalam berkendaraan. Aku sudah ada yang menemani seorang bidadari cantik yang wajahnya dapat aku lihat melalui kaca sepion. Jantung ini berdetak kembali. Dan aku putuskan tidak akan membicarakan yang macam-macam. Aku takut seperti teman rekaan perempuanku yang selalu saja meloncat dari motorku.

Aku jaga hati-hati pertemuan ini, dan agar tidak menyinggung perasaannya. Jangan sampai dia berbohong mengatakan sudah sampai tujuan dan membiarkan aku sendiri melanjutkan perjalanan ini. Tapi aku yakin ini nyata tidak lagi rekaanku. Mana mungkin mau lari atau meloncat dari motor. Apalagi lalulintas siang itu sangat rame.

Lama sekali kita saling diam dan saling pandang. Tapi hati ini serasa komunikasi dengan sendirinya. Tidak tahu sampai mana arah tujuanku ini, aku putar-putar saja menuruti laju motor ini. Rencananya ingin sekali aku ajak dia mampir ke rumahku dan menginap barang satu hari untuk lebih lanjut kita kenalan.

Karena sangking senangnya dan bahagianya hati ini, aku ajak muter lagi walau sudah sampai depan rumah. Aku pamerkan pada mereka yang selama ini mengejekku. Teman-temanku yang sudah menikah, atau tetangga sebelah. Aku sengaja lewatkan bengkel Lek Kardi, tempat para teman-temanku nongkrong. Aku putar lagi lewat pasar pusat para temanku bekerja. Aku putar lagi motor ini aku ajak untuk mengunjungi tempat yang paling indah di kota ini. Sungguh berartinya hari ini. Dan kamu hanya senyum dan tersipu malu dibelakang.

Dan ketika hari sudah beranjak sore, ketika lapangan penuh dengan orang yang sedang menonton pertandingan sepak bola, aku sengaja lewatkan motor ini ditengah-tengah lapangan. Gila memang. Tapi aku merasa bahagia. Tidak ada rasa malu atau merasa bersalah membuat orang yang bermain marah-marah atau para penonton yang melempariku dengan botol air mineral. Aku tetap saja tenang dan aku lihat dirimu masih setia menemaniku dibelakang.

Sampai saat ketika sudah beberapa bulan aku mengenalmu, dan aku yakin bahwa kamu adalah perempuanku, aku beranikan diri untuk meminang ke keluargamu. Aku yakin kamu juga setuju dengan keputusanku. Aku putuskan untuk mengajak orang tuaku ke rumahmu. Dengan segala persiapan dan syarat yang harus aku penuhi, ahirnya aku dan kamu jadi menikah. Sengaja aku adakan pesta pernikahan dirumahmu. Sesuai dengan permintaanmu. Dengan alasan untuk menghemat biaya. Perayaan yang selama ini aku impikan terlaksana juga. Keluarga, teman, saudara semua ikut bahagi dalam pesta perkawinan kami. Semua memberikan selamat dan juga ikut bersyukur.
Dan setelah perayaan pernikahan ini selesai, dan semua keluargaku harus pulang, ternyata semua hanya bisa berputar-putar di kampungmu ini. Tidak ada yang bisa keluar.
(Krapyak ’08)
* Orang biasa yang tidak akan lupa dengan AMANAT.