Minggu, 13 Januari 2008

USAHA BERBENAH DARI KETERPURUKAN

Oleh: Rois Setiawan*
Bencana gempa bumi bersekala 5,9 Sekala Richter di kawasa DIY dan Jawa Tengah, Sabtu 27/5/2006 lalu mengakibatkan kerugian yang sangat besar, kerugian fisik maupun non fisik. Tercatat lebih dari 5000 nyawa yang menjadi korban pada bencana itu, dan juga tercatat 204.538 rumah yang rusak (Kompas, 5/6/06). Selain itu beban psikologis yang dirasakan, juga menambah komplitnya cobaan yang dialami para korban yang selamat. Sehingga bagi sebagian orang yang tidak kuat menanggung beban terpaksa nekat bunuh diri untuk mengahiri beban yang diderita, seperti yang dilakukan Pak Mardi warga Gunung Manuk, Salam, Patuk, Gunung Kidul DIY yang mengahiri hidupnya dengan menceburkan diri kesumur.
Relawan dari berbagai daerah dan dari berbagai Negara tetangga berdatangan turut memberikan pertolongan, semua terlihat saling bantu membantu dalam melaksanakan pertolongan, tidak pandang golongan, etnis, maupun agama, semua campur dalam kesedihan bersama. Walaupun tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam membangun kembali, tapi paling tidak ada sedikit secercah harapan untuk meringankan saudara yang terkena bencana.
Bantuan mulai disalurkan mulai pakaian bekas, sembako, tenda pengungsian, alat dan tim medis, sampai anjing pelacak untuk mencari korban, dan juga masih banyak lagi macam-macam bantuan yang disalurkan. Tapi tidak sedikit pula yang masih kekurangan dan masih membutuhkan bantuan dari para relawan. Kekurangan dalam mendapatkan makanan, layanan kesehatan, fasilitas untuk mengungsi, dan fasilitas dalam membangun kembali rumah yang telah roboh. Situasi semacam itu masih banyak sekali ditemui, bahkan ada yang nekat mencuri bantuan karena lamanya menunggu.
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah munculnya krisis manageman dalam menangani pembagian bantuan, dan pendataan korban. Semua berjalan sendiri-sendiri, tidak ada koordinasi dan komunikasi yang harmonis.
Masih Kedodoran
Adanya kasus pemalakan bantuan di beberapa wilayah bencana, menggambarkan bagaimana kondisi penanganan bantuan yang tidak profesional dari pemerintah, dan bukti kurang adanya kesadaran mempelajari bencana-bencana yang pernah ada.
Dulu ketika ada bencana Sunami yang melanda Daerah Istimewa Aceh dan sekitarnya, pemerintah juga terlihat tidak cepat tanggap menolong. Selalu saja penanganan dan penyaluran bantuan dari Negara tetangga lebih cepat tanggap.
Banyak sekali sector yang menyebabkan mengapa pemerintah masih selalu kedodoran dalam penangan bencana, ada beberapa hal yang kurang dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, adanya birokrasi yang selalu berbelit dalam menangani korban bencana. Terjadinya kasus bunuh diri dan kasus kurang meratanya bantuan, kususnya penyaluran bantuan di daerah yang terpencil menandakan berbelitnya birokrasi sehingga korban bencana merasa kesulitan dan makin terbebani.
Sampai-sampai mereka terlupakan dan menjadi putus asa. Tidak ada harapan dan putus asa merupakan dua factor utama yang menyebabkan adanya kasus bunuh diri. Putus asa terhadap masa depan merupakan factor yang menghantui, seolah mereka ditinggal sendiri, tanpa ada yang membantu. Pemerintah yang dianggap sebagai pelindung dan penolong warganya ternyata tidak bertindak cepat untuk menolong warga negaranya.
Kedua, masih banyaknya kasus penggelapan bantuan, bantuan yang begitu banyak mengakibatkan orang tergiur untuk sedikit menikmati harta yang seharusnya disalurkan pada korban.
Banyaknya tim pengawas tidak menjamin tersalurkannya bantuan secara merata malah menambah berbelitnya penanganan. Paling tidak pemerintah harus mampu memegang kendali dalam penyaluran bantuan, dan harus benar-benar sampai pada orang yang layak untuk diberi bantuan. Penggelapan bantuan yang berikutnya adalah yang berasal dari orang yang mengaku-aku korban. Banyak sekali orang yang menggunakan kesempatan dalam penderitaan, dengan menggunakan kata “untuk korban bencana” mereka dapat mengeruk keuntungan yang semestinya tidak menjadi haknya.
Ketiga simpang-siurnya pendataan korban bencana, sehingga mengakibatkan adanya kawasan yang gemuk karena mendapat bantuan banyak, dan ada juga wilayah yang kurus karena sedikit mendapatkan bantuan. Hal ini yang harus kita antisipasi.
Optimis
Pemberian bantuan berupa sembako dan pembentukan tempat pengungsian bukanlah tujuan akhir, pemberian bantuan yang bersifat instant itu hanyalah instrumen bagi korban untuk memperjuangkan kesejahteraannya.
Jadi bagaimana kita secepatnya mempersiapkan munculnya gairah baru bagi para korban sehingga menjadi orang yang optimis menatap masa depan. Kita semua harus biasa mensiasati dan mendorong pulihnya kondisi fisik dan kejiwaan korban. Mulai dari pendampingan dan perhatian, sampai pada pulihnya kembali kekuatan untuk bekerja sendiri.
Mempersiapkan mental korban menjadi kuat adalah upaya memperkuat agar lebih mampu dan berani menatap masa depan, memulihkan kebutuhannya semaksimal mungkin sehingga dapat melewati masa kritis mereka.
Dalam menghadapi masalah ini, dalam jangka pendek Pemerintah perlu mengambil langkah nyata dan tegas untuk merehabilitasi korban bencana secara efvektif, dan tidak hanya menghambur-hamburkan tenaga dan biaya. Dalam jangka panjang perlu melakukan evaluasi kembali tentang berbagai kebijakan terkait dengan penanganan dan penanggulangan bencana. Masyarakat dan pemerintah harus bias bekerja sama, kususnya komunikasi antar kedua belah pihak harus nyambung sehingga tidak ada kekeliruan dalam menangani penyaluran bantuan.
Oleh karena itu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penanganan korban bencana alam dalam waktu mendatang perlu di lakukan langkah – langkah sebagai berikut. Pertama, melakukan pendatan ulang secepatnya secara akurat. Karena akibat dari ketidak jelasan data yang masuk menjadikan keterlambatan penyaluran bantuan kepada korban..
Kedua, pemerintah harus menegaskan kembali bahwa sasaran bantuan bencana adalah mereka yang benar-benar menjadi korban, baik untuk kesehatan, kebutuhan sehari-hari maupun untuk membangun rumah mereka kembali. Dengan secara tegas dan selektif dapat ditetapkan mana warga yang jelas-jelas korban dan mana yang hanya menggunakan kesempatan bencana saja.
Ketiga, pemerintah harus menegaskan kembali bahwa penyalahgunaan bantuan bagi para korban adalah tindak pidana kriminal dengan ancaman hukuman yang berat, karena pada dasarnya penyalahgunaan bantuan bencana adalah penyalahgunaan keuangan masyarakat banyak, dan penyalah gunaan keuangan Negara. Dan kebijakan ini harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas.
Keempat, Bakornas penanggulangan bencana alam seharusnya ditetapkan sebagai lembaga pertama yang bertanggung jawab terhadap pengadaan, penyaluran dan ketepatan penyaluran bantuan pada korban. Sehingga dapat menyalurkan bantuan secara jelas. Karena selama ini mereka yang ingin menyalurkan bantuan bertindak sendiri-sendiri, sehingga mana wilayah yang sudah mendapat bantuan dan mana yang belum mendapat bantuan, tidak terdata secara jelas, karena adanya perbedaan data.
Kelima, Pemerintah seharusnya meninjau ulang sistem distribusi penanganan dan penyaluran bantuan yang telah dilakukan, termasuk tata cara penyaluran bantuan agar lebih efisien dan efektif, sehingga dapat dilihat apakah sudah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Keenam, komunikasi dan perhatian pada para korban sangat diperlukan sekali, karena selama masih belum terkomunikasikan semua masalah tidak akan biasa terselesaikan dengan baik.
Sehingga nantinya tidak akan ada lagi kegundahan dan kecemburuan antar korban bencana, dan tidak ada yang dirugikan,. Semua korban mendapat bantuan sedang yang membantu tidak merasa tertipu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar