Minggu, 13 Januari 2008

KATA MAAF BUKAN SOLUSI

Oleh: Rois Setiawan*

Saat kunjungannya di tempat pengungsian di Tanjung Muntilan Jawa Tengah hari Sabtu, 20/5/2006 lalu, putri mantan Presiden Soeharto Siti Hediyati Hariyadi menyatakan permintaan maaf pada seluruh rakyat Indonesia atas segala kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan oleh ayahnya saat memimpin bangsa Indonesia, disamping itu dia juga berterimakasih atas doa bagi kesembuhan penyakit yang diderita bapaknya (SM, Minggu 21/5/2006).
Penyakit yang selama ini mendiami tubuh Soeharto, kata Direktur Rumah Sakit Pusat Pertamina Dr. Adjie Suprajitno semakin parah, gangguan pernafasan dan ginjal masih belum membaik ditambah lagi kerusakan jaringan otak yang bersifat permanen.
Hal ini juga yang menjadikan alasan mengapa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Yang ahirnya memunculkan berbagai macam tanggapan dan perdebatan mengenai surat tersebut. Banyak yang menganggap bahwa pengeluaran surat tersebut sangat tergesa-gesa, mereka tidak mampu menangani kasus mantan orang nomor satu di Indonesia ini. Selain itu mereka juga dianggap telah menodai agenda reformasi yang termaktub dalam Tap MPR 1998. Tapi dilain pihak mengatakan adanya SKP3 itu sangat pas dengan kondisi terdakwa saat ini yang dinyatakan tidak layak untuk dipersidangkan, dan alasan lain mengatakan sudah pantas kalau kita ampuni dengan menimbang segala kebaikannya di masa lalu.
Tapi apa sepadan dengan yang kita rasakan saat ini, imbas yang sangat besar dari perbuatannya?, kita rasakan sendiri krisis berkepanjangan yang menimpa bangsa ini, baik itu yang berhubungan rusaknya tatanan politik, moral rakyat, kemiskinan, pendidikan, dan juga kasus KKN yang masih menjadi tradisi, menambah komplitnya kerusakan bangsa ini.
Sebenarnya kita tidak perlu menunggu lama-lama atas kasus ini, sejak lengsernya Soeharto 21 mei 1998 lalu, seharusnya kita bisa langsung menikmati ketegasan para penegak hukum, tapi lagi-lagi mereka seolah-olah tunduk hanya dengan secarik surat keterangan dokter, pertanyaan yang mendasar apa memang mereka begitu polos hingga meng-iyakan apa yang dikatakan dokter tanpa meninjau lebih jauh, atau memang orang yang mereka hadapi begitu kuat, dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya hingga tidak dapat disentuh hukum.
Setiap kali ada pemanggilan kasus KKN, Soeharto dapat dipastikan ada dirumah sakit dengan berbagai alasan penyakit yang menimpanya. Dan setelah beberapa saat kemudin dia nongol lagi di depan public. Hal ini yang sangat menyakitkan masyarakat, kita semua hanya dianggap dalam permainan petak umpet.
Dosa politik
Sering sekali kita terjebak dengan perasaan kita sendiri, perasaan iba atas segala sesuatu yang menyentuh hati menjadikan kita lupa daratan, lupa kesalahan orang yang pernah menyakiti kita, lupa apakah benar soeharto bersalah atau tidak. Segala kekeliruan yang pernah dilakukan terkubur dengan sebatas ucapan maaf, padahal sebelumnya melakukan kesalahan yang sulit sekali diterima hati nurani, apalagi belum adanya proses pengadilan yang jelas atas perkaranya.
Sakitnya soeharto menjadi alasan mengapa kita merasa kasihan dan ingin sekali memaafkannya, tapi ketika kita melihat selama dia menjabat sebagai pemegang kebijakan Negara, dengan segala kesewenang-wenangannya apakah masih pantas kita memaafkan?. Dosa politik yang di lakukannya selama ia berkuasa lebih dari 30 tahun harus dipertaggungjawabkan. Pertanggungjawaban dosa ini wajib dilakukan sebagai bukti tanggung jawab social, sebelum mempertanggungjawabkan kepada Tuhan yang maha adil. Selain itu kiranya dapat di ambil pelajaran bagi pemimpin masa depan, supaya tidak hanya lenggang kangkung setelah merampok dan menikmati kekayaan Negara.
Sosok menakutkan di masa lalu masih terasa di masyarakat, kekejaman dan penindasan penguasa tersirat dari pemerintahan yang dipimpinnya, seorang pemimpin yang terkenal dengan wujud kekuatan TNI yang otoriter lagi kejam.
Belum bisa hilang dari ingatan kita kekerasan-kekerasan Negara yang melibatkan kekuatan militer. Sehingga memunculkan rezim yang menggunakan kekuatan untuk menindas rakyat demi melanggengkan kekusaan. Tidak pandang bulu semua yang menghalangi harus dipangkas habis, kita masih sering merinding ketika mendengar kasus-kasus pembantaian yang dilakukan oleh Negara, seperti peristiwa MALARI, tragedy Tanjung Priok, dan tragedy Tri Sakti, semuanya seolah kabur dengan hanya mengucapkan kata maaf.
Kasus Tri Sakti dan beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang lain masih menggantung belum ada kejelasan perkara. Para keluarga korban pencari keadilan merasa dibohongi dengan janji-janji yang makin tidak pasti.
Selain kekerasan dan pelanggaran HAM, Soeharto juga terkenal dengan 12 Yayasan bermasalah yang selama ini mampu menghidupi anak cucunya. Yayasan yang diperkirakan merugikan Negara sampai 1,3 triliyun selama ini belum ada kejelasan. Apakah nantinya diserahkan pada rakyat atau tetap menjadi harta keluarga.
Pemerintah yang lemah
Kerasnya upaya menegakkan hukum masih banyak menyisakan kritik, betapa pemerintahan dalam beberapa aspek amat lemah dan tidak konsisten. Pemerintah terkesan amat lemah terhadap pemberantasan koruspsi bagi para elit politik dan terkesan hanya tebang pilih, hal ini menandakan masih banyak elite kepolisian serta kejaksaan yang tidak bersih. Banyaknya kroni-kroni soeharto yang bercokol di pemerintahan dapat menjadi alasan mengapa agenda reformasi menjadi macet.
Pemerintah yang berterik lantang atas pemberantasan tindak pidana dan segala yang melanggar undang-undang ternyata hanya isapan jempol, banyak kasus-kasus kelas kakap yang bebas begitu saja, Lihat saja vonis bebas yang diberikan kepada Nudin Halid pidana kasus korupsi dana Bulog sebesar Rp. 196 miliar, Pande Lubis kasus Bank Bali yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 904 miliyar, Muktar Pakpahan korupsi dana Jamsostek senilai Rp. 1,8 miliyar (SM.23/2/2006). Semua itu menjadi bukti bahwa pemerintah saat ini masih kurang konsisten dalam menjalankan tugasnya.
Praktek pemberantasan korupsi yang setengah-setengah, berat sebelah, tidak sesuai dengan kenyataan dan harapan masyarakt masih bisa ditemui di Negri ini. Karena beberapa hal yang dilupakan dari para penegak hukum.
Pertama penegak hukum yang masih dapat dibengkokan atau tidak konsisten dengan sumpah jabatan dan tugas yang diemban. Entah itu dari rekanan, keluarga atau dengan rupiah. Penanganan kasus hanya sampai sebatas yang sangat tertentu saja. Seperti yang dikatakan G. A. Van Poelje bahwa para penegak hukum sering hanya seperti tongkat yang patah yang tidak dapat berbuat apa-apa dalam bebrapa kasus. Walaupun ada banyak UU anti korupsi yang dikelurkan, kalau para penegaknya tidak konsisten hanya menambah daftar permainan bagi mereka. Kedua adanya KKN yang sudah mendarah mendaging, keberadaannya ada dimana-mana sehingga sangat sulit untuk memberantasnya. Ketiga kurang efektivnya lembaga penegak keadilan, selama ini semakin banyaknya lembaga yang dibentuk maka semakin banyak pula praktik dan tindak KKN di dalam lembaga tersebut. Maka perlu adanya tindakan tegas dan kaseriusan dari para penegak hukum yang sudah kita amanati. Sehingga siapapun yang melakukan kesalahan wajib diproses dipengadilan.
Kata Maaf, Solusi?
Ada beberapa tokoh yang menganggap bahwa sikap meminta maaf dari keluarga besar Soeharto merupakan sifat yang legowo yang patut dihargai, seperti yang di sampaikan mantan ketua Muhammadiyah syafii ma’arif. Dia menilai bahwa permintaan maaf itu adalah jalan terbaik saat ini, melihat kondisi yang tidak memungkinkan.
Tetapi tidak dengan kelompok masyarakat yang menginginkan terciptanya keadilan, disamping harus diproses dalam persidangan, harta yang di miliki keluarga Cendana ini harus diserahkan pada rakaya, karena itu mutlak sebagai ganti rugi rakyat yang teraniaya.
Memang menurut penulis, kalau hanya dengan kata maaf tidak ada unsur jera didalamnya, dan tidak akan membalikkan keadaan bangsa ini yang sudah terlanjur terpuruk. Apalagi melihat kedepan nantinya, semua pesakitan dari elit politik pasti akan menggunakan kalimat maaf sebagi senjata pamungkas untuk “membeli” hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar