Selasa, 06 Mei 2008

MAYDAY DAN HAK POLITIK BURUH


Oleh: Rois Ahmed Setiawan

Peringatan Hari Buruh yang bertepatan tanggal 01 Mei, atau biasa disebut dengan Mayday, bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita. Banyaknya buruh di Indonesia, menjadi hal yang wajar jika bangsa ini ikut memperingatinya. Walaupun hari besar buruh ini masih terreduksi di dalam buruh yang sifatnya formal, dan belum sampai pada buruh yang sifatnya non formal, seperti yang bekerja di tambal ban, foto copy, maupun buruh yang bekerja di toko-toko biasa.

Memperingati kembali hari kebangkitan kaum pekerja ini, merupakan salah satu upaya untuk melihat kembali bersatunya para buruh dalam memperjuangkan hak mereka. Hak untuk bekerja, istirahat dan bersosialisasi (berpolitik) layaknya manusia pada umumnya. Dan juga bersatunya kelas yang pada waktu itu dianggap tidak ubahnya dengan budak yang hanya diambil keringatnya saja. Tanpa mempedulikan sisi kemanusiaannya.

Perayaan mayday ini, berawal dari momentum keberhasilan perjuangan dari para buruh. Tahun 1884, The Federation of Organized Trades and Labor Unions telah menyebarkan resolusi untuk menetapkan 8 jam sehari sebagai waktu kerja yang sah, mulai tangga 0l Mei 1886. Ini menjadi tungak awal kemenangan bagi para buruh yang dulunya buruh harus bekerja 10-14 jam perharinya.

Di Indonesia sendiri banyaknya kasus tentang penindasan dan penganiayaan terhadap buruh masih saja terdengar ditelinga kita. Tidak hanya buruh yang ada di kelas bawah, tapi hampir semua kalangan buruh merasakan, khususnya buruh disektor formal. PHK masal di satu perusahaan, upah murah, status kerja, diskriminasi gender, dan ditambah lagi banyaknya kasus buruh TKI yang dianiaya majikannya sampai meninggal. Menunjukkan masih suramnya dunia perburuhan di Indonesia.

Ini menyisakan beberapa pertanyaan yang harus segera dijawab. Mengapa kesejahteraan masyarakat kususnya buruh masih sulit terealisasikan? Mengapa harus dengan cara “kekerasan” dalam merebut kesejahteraan itu? Dan dimana peran pemerintah dalam melakukan perlindungan? Mengapa kelas terbanyak ini tidak memiliki daya tawar?. Dan masih banyak lagi sederet pertanyaan yang sangat panjang untuk dijawab, dan terlalu panjang pula jika hanya perjuangan buruh yang untuk menjawab itu semua.

Permasalahan yang harus dihadapi kaum buruh sangat banyak. Baik permasalahan yang muncul dari internal buruh sendiri maupun yang datang dari luar (baca pemerintah dan pengusaha). Melihat kondisi internal buruh saat ini sangat kurang menguntungkan. Adanya PHK sepihak, upah murah, mengakibatkan serikat buruh yang sebagai representasi dari buruh, makin tidak ada anggotanya. Belum lagi permasalahan-permasalahan internal yang lain, seperti masalah antar Serikat Buruh yang masih terfragmentasi, atau masalah yang dimiliki masing-masing individu buruh.

Sehingga posisi buruh semakin lemah dan kurang mendapat perhitungan lagi, dimata pengusaha maupun pemerintah. Bahkan setiap melakukan aksi masa, selalu gagal dan hasilnya tidak seperti yang diinginkan. Karena sibuk terhadap kondisi internal ini pula yang menyebabkan buruh baik tingkat lokal, nasional menjadikan kurang kebersamaannya.

Sedang tantangan yang datang dari kondisi ekternal buruh adalah menyangkut hukum dan perundang-undangan yang berhubungan dengan perburuhan. Salah satu produk kebijakannya adalah UU. No. 13/2003. Kaitannya dengan kepentingan gerakan buruh adalah pasal yang berkenaan dengan hubungan kerja, di mana pengusaha diijinkan memberlakuan status kerja kontrak dan outsourcing.

Adanya ketentuan ini maka buruh tidak lagi mempunyai jaminan keberlangsungan kerja. Karena pola hubungan kerja yang demikian rentan akan pemecatan. Dan relasi buruh yang demikian akan sangat berpengaruh terhadap keanggotaan serikat buruh dan tingkat perjuangan buruh. Ditambah lagi dengan pelanggaran-pelanggaran yang ada di perusahaan yang tidak ada tindakan dari pemerintah.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan perburuhan belum menjadi persoalan sosial. Persoalan perburuhan hanya menjadi hak milik dari buruh itu sendiri, dan menjadi terasing ditengah isu-isu sosial yang lain. Isu buruh tidak menjadi isu bersama dengan elemen-elemen yang lain misalnya dari petani, nelayan, kaum miskin kota atau mahasiswa. Ahirnya permasalah buruh hanya terdengar dalam satu pabrik saja.

Sedangkan hak politik buruh selama ini masih dipegang elit-elit pengurus serikat. Anggota hanya menjadi penonton “permainan”, hak suaranya hanya sebatas mendapat pelayanan penangan jika terkena kasus industrial. Kesadaran bahwa anggota memiliki peran yang sangat strategis dalam mengambil kebijakan-kebijakan dan perjuangan belum begitu optimal. Tidak ada rasa kebersamaan inilah yang menjadi kaum buruh termarjinalkan dalam struktur hubungan industrial. Tidak ada kata sebanding dan sedrajat antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Kebijakan yang munculpun tidak bisa mengakomodasi dari tiga unsur kepentingan ini.

Peran Serikat

Serikat sebagai wakil dari buruh memegang peran yang sangat penting, baik perannya dengan anggota sendiri, pemerintah maupun ke pengusaha. Ada beberapa hal menarik menyangkut serikat buruh, dilihat dari segi organisasinya ataupun dari perjuangannya. Organisasi Serikat buruh pada waktu perjuangan melawan penjajahan, serikat buruh menjadi bagian dari salah satu alat untuk melawan penjajahan. Di Indonesia boleh dikatakan organisasi-organisasi buruhlah yang menggerakkan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, bersama-sama gerakan massa lainnya seperti Sarekat Islam, Indische Party, dan Insulinde. Maka sejarahnya tidak dapat dipisahkan dengan sejarah pergerakan Indonesia.

Sampai pada munculnya Orde Baru, perjalanan serikat hanya menjadi pengontrol bagi buruh sendiri, dan cenderung menjadi “milik” pemerintah. Saat setela adanya reformasi, tumbuhnya serikat buruh makin banyak dan tidak dapat di hitung. Banyak sekali serikat baru bermunculan, baik yang memang berasal dari inisiatif dari kaum buruh sendiri sampai dari Ormas.

Tapi dari banyaknya organisasi serikat yang muncul, ternyata tidak menambah kesejahteraan buruh, dan cenderung menyebabkan perpecahan di gerakan buruh sendiri. Potensi fragmentasi pada buruh ini tercermin dengan di sahkannya UU. No. 21/2000, utamanya pada pasal 5 undang-undang tersebut yang menyatakan “Serikat pekerja/buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh”.

Ditambah lagi adanya serikat yang hanya menjadi legalitas dari pengusaha, dan paratai politik tertentu. Dengan berbasis massa buruh yang ribuan dapat dipastikan akan menarik perhatian partai politik dalam mendapat suara. Dan sangat rentan bagi serikat buruh untuk terjebak dalam kepentingan politik partai tertentu, ahirnya melupakan tujuan dari perjuangan serikat itu sendiri. Karena tidak menutup kemungkinan buruh akan ditinggalkan kembali setelah tujuan kekuasaan itu tercapai.

Reorientasi Perjuangan

Hannah Arendt (1906-1975), merefleksikan bagaimana manusia sebagai pekerja, pencipta karya, dan pelaku politik, dalam bukunya "The Human Condition" (1959). Ia menggunakan istilah ”vita activa” kehidupan yang aktif dalam upayanya menganalisa kondisi kemanusiaan modern. Melalui tindakan, dan sebagai pencipta dari tatanan dunia ini, manusia menciptakan sesuatu yang baru yang dapat mengungkapkan kebebasannya. Tindakan manusia adalah ‘kelahirannya kembali.’ Tindakan bersifat politis yang melibatkan upaya bersama.

Tindakan adalah sebuah laku komunikasi antar manusia yang mengandaikan kemajemukan sebagai aktisitas hidupnya. Kerja, karya, serta tindakan ini serentak dilakukan oleh setiap manusia. Menjadi buruh atau pekerja, pencipta karya, dan pelaku politik adalah kodrat manusia. Karena pencapaian manusia ada pada kehidupannya yang aktif, peradaban manusia ditentukan terutama oleh vita activa ini.

Untuk itu, pertama-tama kaum buruh harus mempunyai alat politik, yaitu organisasi yang independen. Independen di sini berarti independen terhadap kooptasi negara dan independen terhadap subordinasi pemilik modal. Organisasi yang dikontrol negara dan pengusaha, jelas tidak akan mampu menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan buruh. Masuk ke organisasi yang seperti itu, berarti buruh sudah di bawah kontrol negara. Sedangkan negara sendiri sudah dikontrol para oleh pemilik modal.

Pelemahan serikat buruh baik dari internalnya maupun ekternal, akan membuat buruh harus kehilangan kesejahteraannya. Selain tidak mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan Negara, buruh juga tidak mampu memaksa pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan aturan yang ada, seperti ketentuan tentang pengawasan perburuhan yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran UU perburuhan. Ketiga, kekuatan buruh adalah adanya masa, dengan menggandeng seluruh buruh khususnya yang ada di basis pabrik merupakan kewajiban yang harus dilakukan karena dengan solidaritas ini lah buruh memiliki daya tawar diantara komponen negara, dan pengusaha.

Dan peringatan Mayday hanya akan menjadi sebatas seremonial belaka tanpa ada perubahan menuju pengakuan politik kaum buruh. Apakah akan terus kita langgengkan?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar