Jumat, 25 Maret 2011

BARANG LAMA

Mungkin sudah watak manusia yang suka untuk menumpuk-numpuk barang. Sehingga sering sekali, lupa ditaruh dimana barang tersebut, dan ahirnya beli lagi barang baru yang sama. Kegemaran menumpuk-numpuk barang ini memang suatu hal yang menarik, apa lagi didukung dengan kemampuan untuk membeli setiap apapun yang mau kita beli. Kita lihat saja artis, yang kadang kala bikin jengkel orang yang melihat.Lihat saja koleksi mereka, mulai dari koleksi sepatu, topi, kaca mata, jaket, mobil, sampai rumah seolah-olah mudah sekali membelinya. Kadang kala kita (orang biasa) juga tidak kalah dengan para artis tersebut, bedanya benda-benda yang remeh-remeh yang kita simpan.
Tapi yang lebih menjadi perhatian adalah perawatan benda-benda tersebut. Biasanya kesenangan dengan suatu benda terbatas dengan waktu dan trend yang ada pada saat itu. Dan ketika suatu benda sudah tidak mulai usang kita melupakan begitu saja. Sehingga kita lupa dalam meletakkan suatu benda tersebut. Kelupaan ini sangat berbahaya sehingga ternyata kita mengoleksi "sampah" dalam rumah kita.
Iya sampah. sampah yang tidak kita rasakan. Contoh kecil, biasanya orang perempuan yang mengalami, tapi tidak menutup kemungkinan para lelaki juga mengalami. ketika kita beli sesuatu dan sesuatu tersebut dibungkus dengan plastik atau kardu yang menarik, seolah-olah kita tidak rela membuang bungkus barang tersebut, den menaruh plastik-plastik tersebut di pojok-pojok lemari atau dibawah tempat tidur. Kita tidak menyangka kita mengoleksi plastik juga.
Sangking banyaknya koleksi sampah kita, kadang menutupi barang yang lama kita simpan. Dan menganggap barang yang kita miliki itu hilang. Kebiasaan buruk ini biasanya hilang ketika kita sedang bersih-bersih rumah dan menemukan banyak barang yang kita miliki yang ternyata tertimbun dengan banyaknya sampah yang kita miliki. Dan biasanya kita mengatakan " Owalah ternyata di sini to" atau "Nah ini barang saya yang saya cari-cari kemarin".
Huh, cepek memang untuk berdisiplin diri untuk tidak mengoleksi barang-barang yang tidak berguna, karena sering sekali hati kita tertarik dan terbujuk...

Rabu, 23 Maret 2011

tabiat

Kalau saja tabiat ini bisa kuhancurkan seperti menghancurkan batu-batu yang bisa jadi pasir
kalu saja bisa kubakar seperti kertas suratmu yang telah kusam itu
kalu saja bisa ku pendam seperti memakamkan bangkai tikus itu
kalau saja bisa ku lebur dalam mesin pelebur buah

dengarkan kawan apa kata hatiku
bergelora, bergemuruh, berkeliaran meraung-raung
hanya aku yg mendengarkan..

kadang hilang kadang muncul dengan bermacam ocehannya
mengomentari apa yang tidak perlu dikomentari
dengan tidak ada kesadaran dan kewenangan dalam diriku

tolong coba susunkan kembali

...................

Selasa, 22 Maret 2011

bahasa baru

baru kali ini aku merasa bahwa indonesia memang memiliki berbagai macam bahasa. hehe.. bener merasakan tidak hanya tahu, karena selama ini hanya bisa baca kalau indonesia kaya akan bahasanya, ada yang mengatakan sampai 600 macam, dari suku-bangsa yang ada di indonesia.
tapi itu masih sekedar bayangan, dan menyisakan pertenyaan benar gak sih seperti itu, atau jangan-jangan hanya angka2 saja tanpa ada buktinya..
ternyata benar. baru kemarin aku mengenal anak aceh. ternyata bahasanya jauh dari EYD bahasa indonesia. wah ternyata indonesia warna-warni. tidak hanya ngapak,koen, dan pripun saja...

Rabu, 28 Januari 2009

RELATIFITAS


Tidak ada yang konstan dalam dunia ini, yang ada hanyalah perubahan yang tiap kali berubah dan itu pasti terjadi bagi semua mahluk. mahluk yang ada di alam semesta ini. maka nikmatilah perubahan itu.
Dan bagi orang-orang yang saklek siap-siaplah dengan kesendirian. Dan yang penting jangan marah dengan perbedaan. karena perbedaan adalah watak manusia yang selu ingin beda dengan yang lainnya.
yang pasti tetap adalah sumber dari semuanya, yaitu Sang Pencipta

Rabu, 31 Desember 2008

MEMILIH UNTUK HIDUP


Tepatnya adalah pilihan, pilihan yang harus dipilih tidak bisa kita mengelak untuk tidak memilih, satu dari sekian banyak pilihan. Memilih hidup dengan sendiri tanpa ada yang memiliki atau memiliki, memilih dengan bersama kesenangan sendiri atau tanpa itu semua adalah sebuah pilihan.

Dan pilihan ini membutuhkan konsekwensi lebih lanjut, setelah kita memilih pasti dan tidak bisa mengelak dengan konsekwensi susulan yang harus kita rasakan, kita nikmati atau kita menggetuninya. ya getun atau menyesal karena memilihnya adalah sebuah hal yang wajar, hal yang biasa kita alami. Mengapa kita harus memilih yang ini bukan yang itu saja. Dan seabrek penyesalan yang akibatnya bisa membuat kita tidak semangat atau tidak enjoi dengan pilihan kita.

Tapi apalah artinya sebuah penyesalan kalau roda nasib terus berputar, semua sumpah serapah atau segala makian tidak akan bisa merubah yang sudah terjadi, dan yang paling populer di masyarakat adalah bagai manan kita memaknai atau mengambil berkah dari semua yang ada, baik, buruk adalah keadaan yang selalu hadir. Kalau kita memandangnya sebatas atas dua hal tersebut. Tapi kalau kita menganggap adanya itu adalah sebuah anugrah tidak ada yang namanya keburukan.

Ada yang namanya pohon kesabaran, dimana kita terus berusaha untuk berproses dan dimana ahir dari proses itulah yang menentukan keberadaan kita.

Sabtu, 13 Desember 2008

KATA HATI YANG HILANG

"istafti qalbaka" itulah yang dikatakan Nabi pada kita untuk terus menuruti kata hati. karena hati adalah cerminan sekaligus pengingat bagi kita. mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang musti dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. ini yang sering menjadi pembimbing bagi kalangan yang sudah sampai pada derajat ma'rifat. tapi apakah kita yang sebagai awam tidak bisa mendengarkan kata hati. nah ini permasalahannya, bagi kita yang terlalu asik dengan insting dan keinginan-keinginan, kata hati menjadi terlupakan dan akhirnya tertutup dengan berbagai macam kotoran yang dapat menghambat signal untuk menerima petunjuk yang dilewatkan melalui hati kita.
Jadi jangan heran kalau ada seorang yang bisa dikatakan "waskito". orang yang bisa mendapat petunjuk sebelum suatu kejadian itu terjadi. bedanya dengan para dukun atau para manusia yang lebih mempercayai syaitan dari pada Tuhannya. kalau para dukun lebih kecanduan dengan rewangan yang berupa jin atau syaitan yang sebenarnya adalah musuh manusia. dan mungkin bagi orang-orang yang sampai pada derajat ma'rifat adalah orang yang selalu mendengarkan bisikan hatinya. dengan hati yang bersih dan tidak ada setitik debu atau segores luka dosa hati ibarat peta atau navigator yang dapat menunjukkan kemana kita harus melangkah.
tapi sayang sungguh sayang kita sulit sekali menemukan kata hati kita. kata hati yang biasa kita cuekin, menjadi enggan untuk bersuara lagi, kalau memang bersuara mungkin suaranya tidak melebihi suara semut atau suara cacing sekalipun. suara itu tertutupi dengan berbagai macam dari suara-suara yang bising. mulai dari suara teriakan emosi kita, suara tertawa kita.
suara dengkuran kekenyangan kita, sampai-sampai tertupi juga oleh suara kentut kita yang nyaringnya sampai kepelosok negri.
Bisa dibilang suara-suara yang kita ikuti dan kita andalkan kebenarannya hanya menjadi sebuah ancaman, dan hanya sebuah alat untuk memangsa kita. dengan berbagai macam opini yang masuk pada telinga kita, berbagai macam fersi kebenaran, semua mengepung dan siap menjadikan kiata sebagai budak-budak mereka. dan tidak tanggung-tanggung akibatnya. lupa daratan. nah ini yang menjadi kehawatiran kita, jika sudah lupa mana daratan mana lautan, semuanya diterjang, dan kalau tidak siap dengan peralatan dan bekal kita pasti tenggelamlah kita.
Jadi kembalikanlah suara-suara hati yang jernih kita, dan jangan pernah kita dustai lagi, karena itu adalah signal kita padaNYA.

Kamis, 09 Oktober 2008

TEMAN PERJALANAN

Oleh: Rois*
Sesekali aku melihat ke sepion motorku. Bukannya untuk melihat apakah ada motor atau mobil yang akan menyalip. Tapi hanya untuk melihat wajahmu. Sengaja aku arahkan sepion ini menghadap kewajahmu biar aku dapat memandangimu. Biarlah wajah elokmu menghiasai kaca sepionku. Tapi terkdang kamu sendiri yang merasa malu. Merasa aku perhatikan, kaca sepionpun kamu adapkan ke bawah. Dan dengan senang hati aku hadapkan lagi kewajahmu. Indah sekali. Apalagi ketika kamu tersenyum tersipu dan matamu menatap mataku melalui kaca sepion itu, hampir-hampir saja aku menabrak mobil yang ada didepanku. Sungguh.

Sudahlah biarkan saja kaca sepion ini memantulkan kemilau keindahan. Keindahan yang tidak setiap hari aku rasakan. Walau kacanya agak buram, tatap saja terasa pancaran wajahmu itu. Dengan degub yang sengaja aku jaga iramanya, dengan sesekali menahan nafas untuk mengatur kembali nafas, kita sama-sama ingin menyatukan ingin dan rasa ini.

Dalam perjalanan ini rasanya perbincangan tidaklah penting. Aku merasa perbincangan hanya akan membuyarkan konsentrasiku menikmatimu. Biarlah hati kita yang saling berkomunikasi. Kata orang ketika kita sedang dekat dengan seseorang, kata hati lebih tajam dan lebih peka dalam mengurai ingin kita.

Tidak mau aku berkata padamu. Bukannya aku tidak ingin atau tidak suka padamu. Bukannya tidak mau aku merayumu, dengan kata-kata yang indah atau dengan cerita konyol atau dengan puisi cinta layaknya seorang yang lagi kasmaran. Tidak ingin pula aku mendiskusikan persoalan kehidupan ini padamu. Persoalah yang menjerat segala kesenangan kita. Biar persolan itu aku buang jauh-jauh. Jauh di pedalaman desa yang tandus, biar persoalan itu ikut mengering dan hilang ditelan tanah yang merekah. Sengaja aku diamkan kamu, biarlah kamu seperti itu, tersipu malu dalam kaca sepion yang kemudian kamu bengkokkan kebawah.

Bukannya lidah ini kelu atau rasa ini telah meradang. Tapi aku tidak mau melenceng dengan rasa ini. Ahirnya kata hanya menjauhkan dari apa yang aku rasakan. Aku tidak ingin teman perjalananku ini hilang begitu saja seperti yang lain.

Dulu sebelum kamu menemaniku dalam perjalanan dengan motor ini, aku sering sekali melamun. Ada apa di ujung dari perjalanan ini. Apakah perjalanan ini ada akhirnya. Sampaikah aku pada tujuanku. Atau hanya akan berahir dalam perjalanan ini. Akan ada apa di jalan raya yang aku lewati itu. Ah, entahlah, aku hanya bisa menduga. Dan hanya meraba-raba. Pernah sekali aku merasakan hawatir tidak akan sampai pada tujuan. Dan hanya di jalan raya itu aku berhenti, untuk mengahiri sebuah perjalanan ini. Tapi kehawatiran itu pupus sesampainya aku ditempat tujuan.

Bedanya dulu, dalam kesendirianku itu, aku coba untuk bercengkrama dan bercakap-cakap dengan seseorang entah siapa. Yang penting aku tidak kesepian. Di jalan raya yang rame itu, manusia bisa mati mendadak hanya gara-gara rasa sepi itu. Dan aku tidak ingin yang seperti itu. Ahirnya aku ciptakan kawan dalam perjalannku. Pernah ada seorang profesor yang mendampingiku, pernah juga ada seorang Dai kondang yang menceramahi aku disepanjang jalan. Sampai-sampai banyak orang melongo melihat diriku yang berbicara sendiri ketika berhenti di lampu merah.

Pernah juga aku ciptakan seorang nara pidana yang mau melarikan diri. Dia ingin lari dari hukuman mati. Minta aku untuk melarikannya kemanapun terserah yang penting selamat dari jeratan hukum.

Dalam kesendirianku, aku tidak tahu siapa lagi yang akan menumpang di motorku ini. Baik atau buruk orang itu. Memang bukan pekerjaan yang enak membawa orang yang tidak tahu asalnya. Kadang aku juga merasa jengkel ketika aku menciptakan sediri seorang kakek tua yang mau bertemu dengan cucunya. Dia takut kalau aku ngebut. Tapi dia juga tidak mau kalau dia terlambat di acara ulang tahun cucunya. Sungguh sangat membingungkan. Yang akibatnya membuat aku mual dan mutah diahir tujuan.

Ada juga kisah sedih ketika aku memboncengkan seorang yang mau melahirkan. Siapa yang sangka kalau seorang ibu yang mau melahirkan dijalan mau aku ajak menuju rumah sakit bersalin hanya dengan menggunakan roda dua. Dan belum sampai di rumah sakit si ibu itu sudah melahirkan di jok motorku. Bingung rasa ini, mau aku apakan bayi itu. Untung mereka berdua selamat. Walau ibunya sempat pingsan. Di trotoar jalan raya aku berhenti dan menjaga keduanya. ahirnya aku hanya menjadi tontonan orang yang lewat. Tidak ada seorang pun yang melihat bahwa ada seorang yang melahirkan dan harus segera ditolong, mereka memandangiku dengan pandangan yang aneh dan heran mengapa aku ini. Teriak-teriak sendiri. Dan setelah sang ibu itu seiuman aku antarkan sampai rumah sakit bersalin. Dan hilanglah dia. Layaknya teman-temanku yang lain. Hilang begitu saja.

Dalam perjalananku berkendaraan dulu, juga pernah aku merasakan bagaimana kedua roda motorku itu saling pukul. Bukannya protes dengan berat badanku atau tidak mau ada penumpang lain di motor ini. Tapi mereka tidak mau ada yang kalah. Ingin sekali semua didepan. Saling mendahului kalau ada yang kalah berarti harus dikempeskan dan dibuang. Aneh sekali kedaan waktu itu. Motor yang biasanya aku naiki dengan rasa aman dan penuh keceriaan, berubah menjadi pertarungan yang sengit berebut menjadi yang didepan. Roda-roda itu ahirnya patah dan tidak ada yang menjadi juara. Ahirnya aku buang ke pengepul barang rongsok. Apa boleh buat ahirnya aku cari roda yang baru lagi.

Dan aneh juga ketika suatu ketika roda motorku tidak mau lagi berputar. Bukannya gir atau rantainya putus. Benar-benar mereka ngambek dan tidak mau berputar lagi. Dan ahirnya tidak ada lagi irama naik turunnya lingkaran roda yang menghasilkan sebuah gerak yang enak untuk dinikmati. Mereka merasa takut berada ketika dibawah. Berada pada posisi yang paling tidak mengenakkan bagi mereka, posisi yang tertindas dan menjadi tumpuan berat motor dan penumpangnya. Mereka merasa takut dan bosan ketika bertemu dengan panasnya aspal, bertemu dengan baunya kotoran kuda atau kotoran kambing. Atau bertemu dengan batu-batuan tajam. Lebih-lebih ketika mereka memikirkan masa depannya. Sungguh aneh pikirku. Mereka meraska kalau dibawah nanti tidak ada kelanjutan dari hidup mereka. Mereka akan semakin tipis dan dibuang. Tidak ada lagi kebanggan menjadi sebuah roda kata mereka. Tapi dengan segala rayuan dan bujukanku ahirnya mereka mau lagi berputar, dan mau berusaha kembali menapaki setiap jalan yang akan aku lalui.

Tapi anehnya dalam setiap perjalan aku sulit sekali menciptakan sesosok teman perempuan. Atau kalau bisa ya tidak akan lama, dan selalu sebentar saja menemaniku. Ingin sekali aku bercengkrama panjang lebar dan berbagi pengalaman dengan sosok yang harum dan tidak rewel seperti kebanyakan temanku tadi. Sukur-sukur mau untuk aku jadikan pasangan hidup. Tapi Setiap kali aku mendapatkan teman perempuan itu pasti tidak lama betah membonceng di belakang. Tidak tahu mengapa. Biasanya alasan yang sering sekali aku dengar karena sudah sampai tujuan, walau aku tahu bahwa dia itu bohong, atau paling tidak merasa sudah ada tumpangan yang lain yang lebih nyaman. Dan rela melompat dari boncenganku. Padahal masih dalam keadaan ngebut di jalan raya. Ahirnya aku putuskan untuk tidak lagi membuat tokoh perempuan. Capek aku dibutnya. Walau harum dan tidak rewel tapi malah membikin dongkol dan kecewa hati ini. sayang sekali.

Dan siang itu sekitar jam dua, setelah aku mengantarkan seorang teman. Seorang teman kecil yang ingin sekali ke kebun binatang. Katannya mau melihat macam-macam binatang yang lucu-lucu dan unik. Mendadak aku menemukan dirimu, tersenyum padaku. Tersentak aku dengan senyuman itu. Aku tidak menyangka senyuman itu layaknya percikan bara api yang membakar seluruh rimba hati ini. Hati yang dulunya dihuni semak belukar menjadi membara dibakar api. Entah api apa ini namanya. Kobran api ini tidak menghanguskan atau melelehkan segala isi rimba itu. Tapi ada satu biji yang tersisa. yang anehnya biji itu tidak hangus tapi makin menjadi subur dan bisa membentuk oase di dalam kobaran api. Bayangkan, sepercik senyum yang menghidupkan.

Seorang bidadarikah, manusiakah, atau jangan-jangan tidak kedua-duanya. Wajahnya yang sedikit lonjong, kulit putih, rambut lurus hitam mengkilat. Dan mata itu. Ya mata yang selama ini aku impikan. Sendu agak sipit. Dan lentik bulu mata yang menusuk mata yang memandangnya. Aku yakin ini tidak mimpi. Dan aku pastikan pula pada diriku, tidak mungkin bidadri turun ke bumi ini hanya untuk menemuiku. Aku raba lagi ingatanku. Masih sadarkah aku atau sudah hilang dalam lamunan.

Aku berhenti sejenak memandang dan membalas senyumannya. Berawal dari keheningan itulah aku merasa ada makna yang merasuk dalam kalbuku itu. Isyarat yang terbalas dengan indahnya sambutan hangat. Dan luar biasa dia mau aku ajak berboncengan. Tidak takutkah kulitmu yang putih terkena debu dan panasnya matahari tanyaku dalam hati. Yang penting kamu mau menemaniku dalam perjalanan ini.

Dalam hati aku berkata mimpi apa aku semalam. Tidak perlu lagi aku membuat teman rekaan yang menemaniku dalam berkendaraan. Aku sudah ada yang menemani seorang bidadari cantik yang wajahnya dapat aku lihat melalui kaca sepion. Jantung ini berdetak kembali. Dan aku putuskan tidak akan membicarakan yang macam-macam. Aku takut seperti teman rekaan perempuanku yang selalu saja meloncat dari motorku.

Aku jaga hati-hati pertemuan ini, dan agar tidak menyinggung perasaannya. Jangan sampai dia berbohong mengatakan sudah sampai tujuan dan membiarkan aku sendiri melanjutkan perjalanan ini. Tapi aku yakin ini nyata tidak lagi rekaanku. Mana mungkin mau lari atau meloncat dari motor. Apalagi lalulintas siang itu sangat rame.

Lama sekali kita saling diam dan saling pandang. Tapi hati ini serasa komunikasi dengan sendirinya. Tidak tahu sampai mana arah tujuanku ini, aku putar-putar saja menuruti laju motor ini. Rencananya ingin sekali aku ajak dia mampir ke rumahku dan menginap barang satu hari untuk lebih lanjut kita kenalan.

Karena sangking senangnya dan bahagianya hati ini, aku ajak muter lagi walau sudah sampai depan rumah. Aku pamerkan pada mereka yang selama ini mengejekku. Teman-temanku yang sudah menikah, atau tetangga sebelah. Aku sengaja lewatkan bengkel Lek Kardi, tempat para teman-temanku nongkrong. Aku putar lagi lewat pasar pusat para temanku bekerja. Aku putar lagi motor ini aku ajak untuk mengunjungi tempat yang paling indah di kota ini. Sungguh berartinya hari ini. Dan kamu hanya senyum dan tersipu malu dibelakang.

Dan ketika hari sudah beranjak sore, ketika lapangan penuh dengan orang yang sedang menonton pertandingan sepak bola, aku sengaja lewatkan motor ini ditengah-tengah lapangan. Gila memang. Tapi aku merasa bahagia. Tidak ada rasa malu atau merasa bersalah membuat orang yang bermain marah-marah atau para penonton yang melempariku dengan botol air mineral. Aku tetap saja tenang dan aku lihat dirimu masih setia menemaniku dibelakang.

Sampai saat ketika sudah beberapa bulan aku mengenalmu, dan aku yakin bahwa kamu adalah perempuanku, aku beranikan diri untuk meminang ke keluargamu. Aku yakin kamu juga setuju dengan keputusanku. Aku putuskan untuk mengajak orang tuaku ke rumahmu. Dengan segala persiapan dan syarat yang harus aku penuhi, ahirnya aku dan kamu jadi menikah. Sengaja aku adakan pesta pernikahan dirumahmu. Sesuai dengan permintaanmu. Dengan alasan untuk menghemat biaya. Perayaan yang selama ini aku impikan terlaksana juga. Keluarga, teman, saudara semua ikut bahagi dalam pesta perkawinan kami. Semua memberikan selamat dan juga ikut bersyukur.
Dan setelah perayaan pernikahan ini selesai, dan semua keluargaku harus pulang, ternyata semua hanya bisa berputar-putar di kampungmu ini. Tidak ada yang bisa keluar.
(Krapyak ’08)
* Orang biasa yang tidak akan lupa dengan AMANAT.